Rembulan di Kaki Gunung Ceremai

R Fauzia
Chapter #17

Tetangga Sebelah Rumah

Langit masih gelap saat Luna terbangun oleh kumandang syahdu azan Subuh. Seperti layaknya di pedesaan di tanah Jawa, jarak antara masjid, mushola, atau langgar cukup berdekatan. Panggilan indah untuk umat Muslim itu bisa menembus ke dalam rumah terlebih di daerah pedesaan yang minim polusi suara dari kendaraan bermotor. 

Hanya tiga detik meregangkan tubuh, gadis langsing itu melompat dari tempat tidur dan berjalan santai menuju kamar mandi. Setengah jam kemudian ia sudah duduk santai di beranda depan rumah, memandang semburat jingga yang mulai terlihat di langit, tampak begitu serasi dengan megahnya gunung Ceremai. Bibir Luna terkatup, namun wajahnya memancarkan senyuman. Sebagai pencinta alam, ia tak henti-hentinya mensyukuri anugerah Tuhan yang memberikan rumah di pedesaan yang indah dan damai.

Gadis itu begitu begitu mencintai rumah baru keluarganya, bahkan kejadian-kejadian aneh setiap malam selama satu minggu belakangan seakan tak berbekas di pagi hari. Bukan berarti ia melupakannya, hanya saja Luna tidak ingin memikirkannya terlalu dalam dan menjadi cemas atau bahkan ketakutan. 

“Mbok Yu, lari pagi dulu ya.” Sambil berjalan menuruni tangga, gadis yang mengenakan jaket hoodie dengan tutup kepala yang dibiarkan menggantung di belakang leher. 

“Masih jam lima, Mbak Una.” Mbok Yu sedikit cemas karena matahari belum terlihat. 

“Aman, Mbok! Udah enggak gelap kok.” Sang majikan muda melambaikan tangan dan mulai berlari kecil. Asisten setia itu menggeleng-gelengkan kepala, matanya menatap dengan rasa sayang dan bangga. Dari tiga anak Pak Ilham, gadis itu yang paling perhatian kepadanya, sering memberi hadiah-hadiah kejutan, bahkan pernah menawarkan pijatan saat Mbok Yu sakit. Perempuan kelahiran Malang itu masih berdiri hingga majikan mudanya berbelok dari jalan yang membelah halaman rumah menuju area perkebunan. 

Mengenakan sepatu kets yang sangat nyaman, Luna berlari kecil dengan kecepatan konsisten, langkahnya panjang dan terlihat ringan. Ekor kudanya bergerak-gerak ke kiri kanan. Saat masih tinggal di Jakarta, gadis yang suka berenang dan jalan-jalan pagi itu selalu menyumbat kedua telinganya dengan earphone. Ia senang berolah raga pagi sambil ditemani musik. Namun, di pedesaan, ia lebih senang membiarkan indra pendengarannya menangkap bunyi-bunyian dari alam sekeliling. Ia menyukai kicauan burung-burung, desir daun saat tertiup angin, serta suara tonggeret yang masih belum tidur karena menunggu datangnya matahari. Bibir Luna membentuk senyuman, saat teringat di pikirannya bahwa ia ingin mencari tahu tentang jam tidur serangga yang menetap di batang-batang pohon. 

Gadis 22 tahun itu merasa lebih bahagia sejak kepindahannya ke Majalengka. Ia sama sekali tidak menyesali keputusannya meninggalkan pekerjaan dan menunda rencana mengambil gelar S-2. Mempelajari seluk-beluk perkebunan dan persawahan dengan terjun ke dalam bisnis tersebut adalah sekolah yang mahal dan berharga, lebih menantang dan mengasyikkan dibandingkan dengan belajar di dalam kelas saat kuliah dulu. Bonus dari semua itu, hati dan pikirannya sudah terbebas dari Rafi. Ia bahkan tidak lagi merasa sedih saat bayangan sosok itu melintas di pikirannya. 

Luna masih berlari-lari kecil dengan kecepatan konsisten walau napasnya mulai lebih jelas terdengar. Peluh dari pori-pori kepala tertahan di bandana wol yang mengikat lingkar kepalanya. Tiba-tiba telinganya menangkap percakapan. Berjarak tiga meter dari sumber suara, Luna melihat Tono tengah bersama empat orang pria. Dua di antaranya sudah pernah ia lihat karena beberapa kali membantu putra Mbok Yum di kebun. Dua lainnya, sama sekali asing. Satu orang diantaranya berpenampilan sangat berbeda, tidak seperti pekerja kebun atau petani. 

Lihat selengkapnya