Layar televisi di kamar Indi menampilkan film horor kesukaannya, namun gadis itu malah menatap pada kalendar di atas meja. Seharian tadi, ia membantu Intan menyiapkan baju-baju yang akan digunakan untuk pemotretan prewedding outdoor. Irvan menginginkan konsep yang natural, sehingga tiga set pakaian yang dipilih sama sekali tidak sulit untuk dicari. Namun, mencari jalan tengah dari dua permintaan yang berbeda selera, Indi mencarikan satu set kostum yang berupa gaun putih panjang dan jas. Gadis itu sudah membayangkan background pepohonan besar dan pegunungan untuk outfit berharga cukup mahal itu.
Cukup melelahkan aktivitas hari itu sehingga Indi memilih untuk menolak ajakan Andre untuk makan malam di restoran. Walau pemuda itu memohon karena lusa ia sudah harus berangkat ke Belanda karena ternyata flight yang didapat lebih cepat dua hari dari rencana semula.
“Aku cape, Dre. Agak enggak enak badan.” Begitu alasan yang diberikan gadis yang masih merasa sulit untuk membuka hati lagi untuk mantannya itu.
Indi berpikir dengan mandi air hangat setelah makan malam, ia akan bisa cepat tidur. Namun ternyata, berada di dalam kamar dan membuat aneka catatan yang terkait dengan pernikahan adiknya malah membuatnya gelisah. Terlebih saat ia melihat-lihat kembali foto-foto prewed di internet sebagai inspirasi untuk sesi pemotretan minggu depan. Kegelisahan semakin kuat bermain di hati dan pikirannya.
Indi merasa seharusnya ia berani menolak permintaan untuk menjadi fotografer sesi prewed yang akan dilaksanakan di area pegunungan Ceremai. Tidak bisa ia bayangkan menghabiskan dua malam tiga hari bersama Intan dan Irvan, hanya bertiga. Akan terlalu berat bahkan bagi dirinya yang selalu terlihat tegar menghadapi kesendiriannya. Terlebih belakangan, Indi merasa kehilangan semangat untuk apa pun. Ia merasa kesepian dan kehilangan yang besar. Bahkan saat bersama Andre, gadis itu merasakan hampa di hati.
Rupanya Andre bisa merasakan itu. Pernah satu kali ia bertanya, “Is there someone else, Indi? Kalau ada orang lain di hati kamu, I want to know, Ind.?”
“Enggak ada. Kenapa mikir begitu?”
“You are like ..., somewhere else, always.”
“Aku cuma lelah, Dre,” ucap Indi beralasan.
“Lelah sama aku?” tanya Andre lagi. Biasanya, jika keraguan itu mulai muncul, gadis itu akan segera memaksakan diri tersenyum atau memberi tatapan lebih lama.
“Please, Dre, jangan pergi dari aku,” pintanya lembut. Keraguan Andre biasanya akan berakhir dengan genggaman tangan pada satu sama lain.
Indi tidak merasa tengah berbohong. Ia memang membutuhkan Andre untuk bersamanya. Keberadaan pemuda yang telah menunjukkan kesungguhannya untuk setia, membuat gadis yang kerap menyimpan rahasia hati itu bisa terlindungi dari rasa belas kasihan atau tatapan iba, dan komentar prihatin dari orang lain, dari mereka yang mengasihaninya karena dilangkahi oleh Intan.
Ada beberapa waktu saat Indi ingin berterus terang kepada Andre tentang perasaannya. Namun, ia belum punya cukup keberanian untuk dilihat sebagai jomblowati yang rapuh, yang perlu dikasihani, yang seolah kalah dari adiknya sendiri. Akhirnya ia menutupi kerapuhan hatinya dengan menyimpan sendiri rasa sedihnya. Bahkan Irvan, lelaki yang paling bisa memahami Indi tidak tahu betapa soulmatenya itu menyimpan kegelisahan yang sangat besar. Bagi Indi itu cukup menyiksa karena ia terbiasa terbuka dan mengadu tentang hampir segala hal pada sahabatnya itu.
Tidak bisa menghalau rasa tak menentu dari hatinya, Indi menenggelamkan diri dalam lagu-lagu balada sambil menulis, mencurahkan isi hati. Hingga pukul dua pagi, ia baru mulai mengantuk. Sebuah pesan WA yang ia kirim membuat hatinya sedikit tenang.
Aku ke rumah besok, jam 10an. Aku perlu bicara.
Menepati janjinya itu, sebelas menit lewat dari jam sepuluh pagi, Indi sudah berada di rumah Irvan. Ia disambut oleh Naraya, adik Irvan yang tengah memotong daun-daun tua dari pohon mawar di taman depan rumah.
“Kok sendirian, Kak Ind? Intan mana?” tanyanya.
“Intan ada acara sama temen-temennya.”
“Oooh.” Naraya terlihat sedikit bingung hingga lupa mempersilakan tamunya untuk masuk.
“Mas Irvan, ada?” tanya Indi.
“Ehm, ada di kamarnya. Sebentar, aku panggilin. Yuk masuk.” Adik pertama Irvan, itu mempersilakan calon ipar kakaknya untuk duduk di ruang keluarga. Namun, Indi memilih untuk menunggu di ruang tamu. Lima menit kemudian, pemuda yang ditunggu bergabung dengan rambut yang masih basah, membuat wajah tampannya terlihat segar.
“Hai!” sapa Irvan.
“Hai.” Ada rasa tak karuan bermain dalam hati Indi.
“Begadang sampai jam berapa tadi malem kamu?”
“Abis kirim WA, nulis-nulis, terus tidur.”