Ketika Luna memberi tahu Mbok Yu tentang rencana berkunjung ke rumah Pak Haji Jaka, jawaban ibunda Tono itu membuatnya tertawa, “Mbak Una sama anaknya Pak Haji aja. Ganteng, sholeh. Sopan orangnya, Mbak. Baiknya kaya Mas Dion.”
“Kaya udah kenal lama aja, Mbok Yu.”
“Saya kan atine tanggep, Mbak,” ucap Mbok Yu sambil menepuk-nepuk dadanya pelan, “Saya bisa nilai orang baik atau enggak.”
Luna sama sekali tidak protes, ia ingat Mbok Yu tidak terlalu suka pada Rafi dulu, walau gadis itu baru tahu setelah hubungan dengan sang mantan telah benar-benar berakhir. Itu pun karena mamanya yang bercerita.
“Tapi namanya mirip-mirip sama yang dulu, Mbok.”
“Weleeeh, beda tooh, Mbak Una. Sama-sama R tapi beda. Mukanya juga adem yang ini. Ibu bapaknya baiiik, ramaaah. Bibit bobot bebetnya bagus, Mbak Una.” Luna tertawa geli mendengar ucapan asisten kepercayaan keluarga itu. Usia Mbok Yu belum genap 50 tahun, tapi caranya bertutur sering diselipi dengan sedikit petuah, seperti seorang nenek yang tengah bicara dengan cucunya.
Baru dua hari kemudian mereka berdua berkunjung ke rumah Pak Haji Jaka dengan berjalan kaki ditemani Tono. Mereka disambut oleh Ibu Nurmala, istri Pak Haji yang kerap disapa penduduk sekitar dengan panggilan Bu Hajah Nur. Seperti yang dikatakan Mbok Yu, ibunda Rifky itu sangat ramah membuat para tamunya merasa diterima dengan hati terbuka. Aneka suguhan disajikan, bahkan saat Luna berpamitan, sang nyonya rumah sudah menyiapkan bungkusan makanan untuk dibawa pulang.
Rupanya Rifky sudah memberi tahu ayah ibunya tentang rencana kunjungan Luna yang mencari penjaga dan asisten untuk rumah baru mereka. Pemuda berkulit putih yang baru pulang dari masjid milik keluarganya itu ikut duduk menemani ibunya. Ternyata saat melakukan kunjungan perkenalan, kedua orangtua Luna juga sudah membicarakan tentang kebutuhan mereka mencari pengurus rumah. Seperti putranya, Bu Hajah Nur juga mempromosikan hal-hal baik tentang pasangan suami istri yang bekerja untuk pemilik lama rumah Luna.
“Tapi maunya yang bisa mondok, Teh Luna, menginap,” ucap Bu Hajah Nur.
“Oh, iya Ibu, justru itu yang keluarga saya butuhkan.”
“Tapi itu suami istri, dua-duanya harus nginap, enggak mau pisah.”
“Satu paket,” ucap Rifky menambahkan dan melempar senyum pada Luna.
“Tidak apa-apa, malah senang, Bu. Rumah jadi rame.”
“Iya ya, rumahnya ‘kan besar sekali.” Bu Hajah Nur berkata seolah rumahnya sendiri tidak sama besar. “Memang kapan diperlukannya, Teh? Punten.”
“Secepatnya, Ibu,” jawab Luna sopan, “Kasian ini Mbok Yu tertahan di sini, belum mau pulang ke Jakarta kalau saya belum ada yang bantu.”
“Enggak tega saya Bu Hajah kalau Mbak Una sendirian. Anak gadis, sendirian di tempat baru, Bu Hajah,” kata Mbok Yu.
“Muhun, Bu Yu. Jangan ditinggal sendirian, Teh Lunanya.” Kening Bu Hajah sedikit berkerut saat mengatakan itu.
“Saya sudah biasa sendiri kok, Bu. Lagipula, sepertinya di sini aman, ya Bu.”
“InsyaAllah aman. Tapi ..., kalau nanti-nanti sendiri, nginep di sini sajah, Teh Luna. Ada kamar kosong di sini, khusus tamu sama sodara yang nginep. Pokoknya jangan sendirian, ya.”
Luna baru saja hendak menjawab, Mbok Yu sudah lebih dulu membuka mulut, “Tono, anak saya suka melihat penampakan, Bu Hajah. Memangnya di situ serem, ya Bu Hajah? Dulunya?”
Yang ditanya menoleh kepada putranya, saling bertukar pandang penuh arti. Luna yakin ia melihat Rifky menggelengkan kepala sangat pelan, begitu pelan hingga hampir tidak kentara. Mungkin sebagai kode karena kemudian nyonya rumah itu bicara dengan nada yang berbeda.
“Aah, eta mah di mana-mana ada. Namanya juga di desa, caket gunung!” kata Bu Hajah.
“Iya ya, Bu Hajah, apalagi rumah kelamaan kosong, ya Bu?”
“Muhun, Bu Yu,” jawab Bu Hajah. Ia menoleh pada Luna dan berkata lagi, “Nanti dibantuin ya, dingajiin. Rumah baru sebelum ditempatin bagusnya dingajiin dulu, Teh Luna. Biar nanti Rifky ngaji di rumah Teh Luna sama anak-anak pondok.”
“Wah, terima kasih sekali, Bu Hajah. Mau sekali, Bu, kalau tidak merepotkan.”
Luna menyambut dengan semangat tawaran itu. Dua hari kemarin hal-hal aneh terjadi di kamarnya membuatnya mulai merasa tak nyaman hingga hampir saja meminta Mbok Yu untuk menemaninya tidur. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa semua itu hanya perasaannya saja, yang hampir selalu sendirian di atas, namun mendengar cerita Tono yang beberapa kali melihat bayangan berkelebat atau suara-suara di malam hari, Luna tahu ketakutannya beralasan.
Saat Luna berpamitan, Bu Hajah Nur bertanya kapan gadis itu punya waktu untuk mewawancarai calon pengurus rumah. Mereka pun sepakat untuk melakukannya lusa.
“Baik itu mereka. Jujur, sholeh.”
“Alhamdulillah, semoga mereka bisa datang lusa, ya Ibu.”
“Bisa mereka mah, InsyaAllah.” Ibu Hajah yang ramah itu menyentuh lengannya.
“Teh Luna, sering-sering atuh main ke sini.” Luna mengangguk dengan sopan.
“Kalau ada apa-apa, kalau butuh bantuan, Teh Luna ke sini aja. Telepon A Rifky juga bisa, nanti A Rifky yang ke sana.”
“Nuhun pisan, Ibu Hajah.”
“Aah, Ibu saja, biar akrab.” Luna tertawa, ia langsung jatuh suka pada tetangganya yang ramah itu.
“A Rifky, punten, saya pamit.”
“Anter atuh A!” ucap Bu Hajah. Belum sempat Luna menolak, pemuda bertinggi 171 cm itu sudah berkata, “Ayo, Mbak Luna, saya antar.”
Secara demonstratif Mbok Yu menarik tangan Tono, mengajak putranya itu berjalan lebih dulu. Dalam hatinya Luna tersenyum, teringat akan kata-kata perempuan itu tentang putra Bu Hajah.
“Mbak Luna, lagi libur kuliah atau ....” Rifky tidak menyelesaikan kalimatnya.
“Oh, sudah selesai. Sempat kerja sebentar, tapi berhenti terus pindah ke sini.”
“Wah sudah sarjana, selamat ya.”