Jeritan kecil ceria Intan menutup diskusi di ruang makan malam itu. Seperti biasa gadis yang dijuluki princess dalam keluarga itu mendapatkan apa yang diinginkannya. Sementara sang kakak hanya bisa pasrah saat adiknya itu memeluk erat dan mencium pipinya.
“Yeiiiy, makasih, Kak. Mas Irvan pastiii seneeng,” ucap Intan gembira.
“Pokoknya kamu harus janji, liburanku nanti jangan diganggu gugat!” Indi tahu bahwa ia tak akan menang begitu Intan mengadu dan meminta dukungan kedua orangtua mereka.
Sang mama langsung saja memberi nasihat panjang lebar tentang pentingnya saudara kandung saling mendukung, lalu papanya memohon agar Indi benar-benar terlibat penuh dalam persiapan pernikahan Intan, tak ada alasan bagi gadis itu untuk berkeras hati. Tak ingin kedua orangtuanya berpikir bahwa ia tidak ikhlas dilangkahi, akhirnya Indi kembali menyanggupi permintaan sang adik untuk menjadi fotografer prewedding.
Seperti rencana semula, Irvan menjemput kedua kakak beradik itu pukul sembilan pagi untuk berangkat ke rumah perkebunan. Ia merasa lega melihat Indi tidak lagi terlihat gelisah. Beberapa kali ia melirik ke belakang hanya untuk memastikan bahwa gadis itu tidak murung lagi. Setiap kali tatapannya bertumbukan dengan mata Indi, Irvan mengerjap atau melempar senyuman.
“Sayang seneng, ya, soulmatenya mau motret kita?” tanya Intan yang melihat kekasihnya tersenyum.
“Iya,” jawab Irvan tersenyum tipis, senyum yang menurut Intan bisa melelehkan hati yang terbuat dari besi sekali pun.
“Tuh denger ‘kan, Kak? Siapa yang enggak mau lepas dari Kak Indi? Bukan cuma aku.” Seperti Irvan, Indi juga hanya tersenyum tipis.
“Ada yang sedih, Mas, ditinggal yayangnya pulang kampung,” goda Intan.
“Memangnya kamu, enggak bisa ditinggal.” Komentar Irvan itu ditanggapi mesra oleh calon istri tercinta dengan merebahkan kepala di pundaknya.
“Pokoknya aku bakal jadi istri yang ngintilin suamiku terus, ke mana pun suamiku pergi,” ucap Intan manja.
“Berarti enggak jadi model lagi?” tanya Irvan.
“Tetap jadi model, dong, Sayang.”
“Gimana bisa ngintilin aku kalau kamu jadi model?”
“Yah, sebagai suami yang enggak kerja kantoran, Mas Irvan yang mengawal aku dong. Kan wiraswastawan waktunya lebih bebas.” Suara manja Intan membuat kekasihnya menggeleng.
“Betul ‘kan, Kak?” tanyanya lagi tanpa menoleh ke belakang. Irvan melirik melalui kaca spion, ingin tahu reaksi sang calon kakak ipar.
“Aku enggak ikutan,” jawab Indi. “Mau tidur.”
“Makanya, jangan begadang, Kak!” protes Intan, “Lagian betah banget sih nulis diary.”
“Enggak boleh begitu, Sayang. Tiap orang punya hobi masing-masing,” tegur Irvan.
“Tuh ‘kan ..., pasti deh kamu bela Kak Indi!” Belaian sang calon suami di kepalanya membuat Intan tersenyum. Hampir di sepanjang jalan, dua sejoli yang akan menikah satu setengah bulan lagi itu, saling berbagi rasa sayang melalui sentuhan tangan, lirikan, dan kata-kata mesra.
Di bangku belakang, Indi duduk dengan tenang, menatap ke luar jendela hingga akhirnya ia memutuskan untuk memejamkan mata, dan tertidur lelap. Sesekali sang adik menengok dan menatap dengan penuh kasih, begitu pun Irvan. Dari kaca spion, refleksi sahabat sejatinya yang tengah lelap itu, membuat hatinya terasa damai. Ia merasa lega melihat Indi telah bersikap biasa lagi. Bagi Irvan hidup terasa lengkap dengan Intan yang akan menjadi istrinya dalam waktu dekat, pekerjaan yang sesuai kata hati, dan sahabat sejati yang menjadi kakak iparnya. Tidak ada lagi yang ia harapkan selain rasa damai seperti yang ia rasakan dengan dua gadis yang ia sayangi itu.
Suara Intan yang menguap membuat Irvan menoleh.
“Bobo, Sayang,” ucapnya lembut.
“Sayang enggak apa-apa aku enggak nemenin ngobrol?” Irvan meraih telapak tangan sang calon istri dan mengecup lembut.
“Enggak apa-apa.”