Kabut masih menutupi seluruh tubuh gunung Ceremai. Gradasi warna biru tua, abu-abu, dan putih tidak pernah terlihat begitu indah seperti saat itu. Keindahan misterius yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang bertahan di kaki gunung dan berteman dengan dini hari. Angin subuh membelai kulit wajah Indi. Gadis itu seperti tak peduli. Ia tenggelam dalam kedamaian semesta yang bertentangan dengan lelahnya hati. Ia membiarkan tubuh mungilnya dipeluk dingin tanpa terlindungi oleh jaket atau baju hangat.
Indi menyukai dingin, mendamba kabut, mencintai pedesaan, dan mengagumi pegunungan. Saat Irvan mengajaknya ke Majalengka, gadis itu langsung jatuh cinta pada kunjungan pertama. Bahkan tanpa ragu-ragu, ia ikut urun suara agar Pak Andi Yusuf dan Ibu Tiana mendengarkan bujukan kedua anak mereka untuk membeli rumah perkebunan itu. Indi begitu bersemangat seolah ia sendiri yang akan menempati rumah itu, menghabiskan masa tua hidup di pedesaan di kaki gunung Ceremai.
“Masuk angin nanti kamu, Ndi.” Suara berat yang tiba-tiba terdengar membuat hati Indi berdesir. Tubuhnya terasa melemah saat Irvan membungkus punggungnya dengan selembar kain wol yang memang disiapkan untuk menghangatkan diri saat duduk-duduk di beranda atau di ruang TV.
“Aku suka dingin,” jawab Indi.
“Tapi perut kamu kosong.” Irvan merapikan selimut wol hingga tubuh Indi terbungkus sempurna.
“Thanks.” Gadis bermata sendu itu menoleh sekilas, lalu kembali melayangkan pandangan ke kejauhan. Warna-warna monokrom mulai menjadi lebih muda satu tingkat.
“Masih jatuh hati sama tempat ini?” tanya Irvan. Indi mengangguk.
“Masih pengen tinggal di pedesaan hingga tua?” Kembali gadis itu mengangguk.
“Aku bisa membayangkan kamu tinggal di sini. Melatih anak-anak desa melukis, membuat puisi, mengajarkan fotografi dan menjadi model.”
“Dan silat!” tambah Indi, membuat Irvan tertawa kecil.
Ada rasa sayang meluap di hati pemuda itu menatap sahabat terkasih yang sebentar lagi akan menjadi kakak iparnya. Gadis mungil bermata sendu itu selalu membuatnya kagum. Segala yang ada pada Indi menakjubkan, menularkan rasa damai. Hanya saja, Indi tidak pernah menyadari segala kelebihannya. Irvan melihat dirinya dalam sosok gadis yang ia sayangi itu.
“Kamu dan semua keindahan ini, masuk akal.” Mengenal sang pemilik rumah dengan sangat baik, Indi bisa menangkap kegalauan dalam kalimat itu.
“Berantem lagi?” tanyanya. Irvan mengangguk.
“Dunia Intan di Jakarta, Van,” ucap Indi. “Beri dia waktu. Toh kalian tidak harus buru-buru pindah ke sini.”
“Adikmu marah.”
“Kenapa?”
“Ya, tentang tempat tinggal. Dia bilang aku egois, memutuskan untuk memulai bisnis di sini setelah menikah.” Irvan menarik kursi mendekat ke Indi. “Kamu tahu ‘kan, Ndi, aku sudah lelah dengan kota besar.”
“Tapi kamu juga tahu, Van, calon istri kamu sedang memasuki puncak kariernya,” ucap Indi. “Minggu lalu dia bilang mau ikut seleksi top model setelah menikah.”
Irvan mendengus sinis, “Mana bisa ikut kompetisi selagi hamil.”
“Intan belum bilang soal itu? Soal hamil.” Irvan mengangguk.
“Sudah, dia mau KB dulu dua tahun. Dia juga enggak mau tinggal di sini. Katanya mau mulai casting untuk film,” jawab Irvan tak bersemangat.