Sekitar empat jam Luna tertidur dalam keadaan tertutup selimut dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ia terbangun karena batuknya sendiri. Sejenak lupa akan apa yang terjadi. Begitu kesadarannya kembali, gadis itu melirik ke jendela.
“Ya ampun!” jeritnya tertahan. Kedua tirai jendela tertutup dengan sempurna. Seketika bulu kuduk Luna meremang. Ia membalikkan tubuhnya ke sisi yang berlawanan dengan jendela. Jam di atas meja menunjukkan pukul tiga dini hari.
Ragu gadis itu memutuskan untuk tetap diam di kamar atau turun, dan menunggu azan Subuh di bawah. Saat tangannya menjulur untuk meraih ponsel di atas nakas, kembali mata Luna terbelalak. Buku diary biru dalam keadaan terbuka padahal gadis itu yakin meletakkannya dalam keadaan tertutup seperti yang selalu ia lakukan. Ada bercak biru pada halaman kanan yang terbuka itu. Tanpa pikir panjang lagi, Luna mengambil ponsel dan bergegas keluar dari kamarnya.
Di lantai bawah keheningan terasa menggigit berbalut cahaya remang-remang dari satu-satunya lampu yang menyala. Ragu Luna berdiri, matanya menyapu ruang dari pantry, ruang TV pintu utama, ruang duduk, dan kembali lagi ke pintu utama. Gadis itu tidak menyadari di anak tangga ketiga, sesosok penampakan berdiri menatap ke arahnya. Namun, dinginnya udara ruang yang tiba-tiba terasa meningkat, membuat gadis Luna bergidik. Langkahnya terasa berat menuju kamar Mbok Yu.
“Mbok! Mbok Yu!” Luna mengetuk keras pintu kamar. “Tono! Tonooo!”
Baru pada ketukan kelima, terdengar jawaban dari dalam diikuti pintu yang terbuka beberapa saat kemudian. Mbok Yu memicingkan matanya dan berkata, “Mbak Una? Ono opo, Mbak?”
“Enggak apa-apa, Mbok,” jawab Luna. Niat menceritakan apa yang terjadi lenyap sudah, tak sampai hati ia melihat wajah kasur Mbok Yu yang terpaksa bangun dari lelapnya.
“Mau diambilin apa, Mbak Una?”
“Enggak, Mbok. Eh, temenin saya bikin coklat panas, Mbok.” Walau cukup heran mendengar permintaan majikan mudanya yang diluar kebiasaan, asisten setia itu tidak bertanya. Ia berjalan mengikuti Luna menuju pantry.
“Saya saja yang bikinin, ya Mbak Una,” ucapnya.
“Boleh, Mbok. Makasih.” Luna menyalakan lampu utama dan mematikan lampu malam. Duduk di sofa ruang TV, gadis itu memain-mainkan ponsel di tangan. Ada rasa sedih mampir di hatinya. Di saat seperti itu dirinya tidak punya teman dekat untuk mengadu, bahkan untuk sekedar bercerita melalui pesan Whatsapp. Luna sama sekali tidak berniat menelepon mamanya dan membuat keluarganya panik.
“Mbak Una, liat lagi?” tanya Mbok Yu sambil membawa satu gelas besar coklat panas dan meletakkannya di meja. Tanpa menyebut apa kata penampakan atau hantu, Luna tahu apa yang dimaksudkan Mbok Yu.
“Iya, Mbok. Tapi jangan bilang-bilang Mama Papa ya.”
“Iya, Mbak Una. Jangan bilang Bapak Ibu. Kasian udah beli rumah mahal-mahal ada demitnya.” Pilihan kata itu membuat Luna tersenyum. Beberapa teguk coklat hangat langsung saja membuatnya merasa lebih baik.
“Mbok, kalau mau tidur lagi, tidur aja.” ucapnya. “Maaf ya, saya bangunin tadi.”
“Ra opo-opo, Mbak Una, ngantuknya udah ilang.”
“Tidur aja lagi, Mbok.”
“Nanggung, Mbak Una, sudah mau Subuh.” Setengah jam kemudian langit di kaki gunung Ceremai itu mulai dipenuhi oleh bacaan ayat suci Al Quran dari pengeras suara di masjid-masjid desa.
Saat kembali ke kamar untuk melakukan salat, Luna merasakan kedamaian dalam kamarnya itu seperti yang ia rasakan di bulan pertama menempati rumah perkebunan. Bahkan tirai dan jendela yang ia buka lebar-lebar tidak memberi kesan menakutkan sama sekali. Penuh kekaguman gadis itu menatap pemandangan yang membuatnya selalu merasa beruntung diberi kesempatan hidup di tempat seindah itu.