Sudah sangat jauh Indi berlari, hingga rambut dan baju yang dikenakannya basah oleh keringat. Ia berlari tanpa berpikir, dorongan emosi yang menggerakkan tubuhnya untuk berlari. Hembusan napasnya keras seakan bisa mengeluarkan kesedihan yang menyesakkan dada. Gadis pemegang sabuk hitam silat itu berlari seperti tengah bersiap untuk pertarungan, sandal jepit yang dikenakan terlihat sama sekali tidak mengganggunya. Ia berlari seolah tengah menyelamatkan diri dari seseorang yang akan menyakitinya.
“Aaah!!” Akhirnya sandal jepit Indi pun menyerah dan putus salah satunya. “Sial!”
Walau tahu bahwa tidak mungkin menyambung alas kakinya yang rusak, Indi masih mencoba beberapa saat hingga akhirnya merasa kesal sendiri. Dilemparkannya sandal tak bersalah itu penuh emosi.
Napas Indi masih tersengal-sengal saat ia berjalan menuju bangku besi tempat ia menumpahkan perasaan pada Irvan. Di atas benda mati yang menjadi saksi bisu pengakuan cintanya, gadis itu meluruskan kaki. Tatapannya kosong seolah menembus tanah, pun perasaannya.
Saat itu, Indi tidak bisa mengenali perasaannya sendiri, apakah merasa menyesal telah mengatakan cinta pada Irvan atau malah lega. Yang ia tahu adalah semakin dekat ke hari pernikahan adiknya, gadis itu merasa semakin panik, dan semakin menyadari bahwa cintanya untuk Irvan terlalu dalam. Selama itu Indi berpikir bisa menipu diri, bersembunyi di balik sikap tegar yang selalu ia pertontonkan di depan semua orang, ternyata hatinya rapuh. Satu hal yang ia sesali, membiarkan hati kecilnya berharap bahwa suatu saat Irvan akan menyadari bahwa Intan bukan gadis yang tepat untuk dicintai.
Bodoh kamu, Indi! Batinnya mengutuk. Seharusnya ia tahu bahwa siapa pun yang mengenal Intan tak akan pernah pergi. Paras dan fisik yang sempurna akan membuat perempuan lain di sekitarnya menjadi tak terlihat. Kecantikannya membuat orang mendekat. Sesuatu dalam diri gadis itu bagaikan magnet, membuat banyak orang melekat dan setia memuja. Tanpa melalukan apa pun, Intan akan selalu menjadi titik pandang yang menjerat mata dan hati.
“Indi, adik lo cakep bener. Comblangin gue dong!”
“Ind, gue pengen ngajak elo diner kapan-kapan. Ajak Intan ya.”
“Aku harus jujur, Indi. Aku naksir Intan sejak sebelum kenal kamu.”
Jika Indi harus menyebutkan nama-nama teman lawan jenis yang berpindah hati atau bahkan menggunakan dirinya sebagai jembatan untuk mengenal sang adik, akan sangat panjang daftar itu. Hanya Andre yang tidak begitu. Itulah salah satu sebab yang membuat hati Indi tersentuh dan mengatakan ya saat kakak kelasnya itu menyatakan cinta. Mantan pacarnya itu terlihat sama sekali tidak tertarik pada Intan. Indi luluh dan menyerahkan hatinya. Namun, ternyata Andre menebar pesona kepada banyak gadis lain, membuat kepercayaan diri Indi semakin rendah. Pertemuannya dengan Irvan-lah yang menariknya dari kubangan sepi.
Lesu Indi berjalan kembali ke rumah milik keluarga Pak Andi Yusuf. Ditabahkannya hati melihat Intan dan Irvan dari kejauhan.
“Ya ampun, lari berapa kilo, Kak, sampai kuyup begitu?”
“Olah raga,” jawab Indi sambil menaiki tangga menuju beranda, tak menoleh sedikit pun kepada adiknya.
“Kok nyeker, Kak? Olah raga enggak pake sepatu?”
“Putus tadi.”
“Ngaco deh, Kak Ind. Lari pagi kok pake sendal.” Intan melemparkan pandangan kepada sang kekasih yang sejak tadi duduk diam di sampingnya.
“Kayanya soulmate kamu lagi lari dari kenyataan,” ucapnya lagi bercanda.
Irvan yang baru saja mendengar curahan isi hati Indi, bergeming. Berusaha keras bersikap normal, dipaksakannya bibir untuk membentuk senyuman. Untuk saja Intan bukan gadis yang peka, ia sama sekali tidak bisa membaca perubahan sikap sang calon suami. Bahkan, saat Indi sudah mendekati pintu, setengah berteriak Intan berkata, “Kak Ind! Kita mulai foto jam berapa?”
“Kita undur saja fotonya!” tukas Irvan.