Rembulan di Kaki Gunung Ceremai

R Fauzia
Chapter #24

Catatan Dua Hati

Saat Irvan memarkir mobilnya di halaman rumah, Indi bergegas keluar tanpa menoleh sekali pun. Sepanjang sisa sore dihabiskan di kamar dengan alasan lelah. Ia baru keluar setelah Intan membujuknya untuk makan malam bersama. Itu pun dengan syarat agar santap malam dilakukan di beranda rumah. Gadis itu merasa berada bersama Irvan dan Intan dalam ruangan tertutup akan semakin membuat hatinya sesak.

“Nah ini loh, Sayang, putri bulan yang pengen makan di teras,” goda Intan saat kakaknya bergabung di beranda. 

“Purnama,” jawab Indi sekenanya.  Tanpa menoleh, Indi bisa merasakan tatapan Irvan ke arahnya. Bertolak dengan perasaan hatinya yang bergejolak, gadis itu duduk dengan tenang, mengambil makanan yang disiapkan oleh Ceu Neni, lalu membawa piring yang telah terisi menuju kursi di pojok kiri. 

“Kak, kok di sana sih? Kan enggak enak ngobrolnya,” protes Intan.

“Di sini bisa liat bulan.”

“Susah deh putri bulan!” Sang adik menukas sambil tertawa. Berbeda dengan Indi, Intan bukan gadis yang mudah tersentuh oleh keindahan alam. Ia sangat modern dan hanya menyukai hal-hal yang kekinian. Ia juga menyukai pembicaraan ringan yang lucu dan membuat terhibur. Model cantik itu memang mudah tertawa. Tentu saja, fashion adalah kecintaannya yang terbesar. 

“Aku sering godain, Kak Indi. Eh malah dapet calon suami yang juga suka bulan, suka alam, suka motret pemandangan, suka puisi juga. Pokoknya nikah sama kamu, Sayang, aku kaya nikah sama Kak Indi.” Dalam keadaan berbeda, Irvan akan tergelak mendengar kalimat itu. Namun, pengakuan Indi tentang perasaan cinta yang terpendam membuat hati pemuda itu gelisah. 

Irvan sangat menyayangi Indi dengan sepenuh hati. Ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuatnya tak ingin kehilangan, yang membuatnya ingin selalu dekat. Ada sesuatu dari sahabatnya yang bijaksana dan berpembawaan tenang itu yang membuatnya nyaman. Indi adalah rasa damainya. Bahkan terkadang rasa itu tak bisa ia dapatkan dari Intan, terlebih saat ia dalam keadaan galau. 

Apa yang terjadi saat itu antara dirinya dan Indi, membuat Irvan sangat gelisah. Gadis itu telah menjadi tempat menumpahkan segala emosi hati, tempat ia mencari ketenangan, meminta dukungan, bahkan tempat ia bisa menjadi diri sendiri. Irvan hampir tidak bisa menguasai diri. Saat itu ia sangat membutuhkan Indi. Ia ingin gadis itu mendengarkan segala keluh kesahnya tentang mereka berdua, tentang perasaannya terhadap Indi. 

“Sayang ...” Suara Intan begitu dekat di telinga Irvan. Gadis itu mendekatkan bibirnya dan berbisik, “Kamu hibur Kak Indi deh. Kayanya dia lagi sedih. Tadi abis terima telepon dari Andre.”

Sebelum menjawab, Irvan menelan ludah, berharap itu bisa membebaskan tenggorokan dari rasa yang mengganjal. Kemudian dengan lirih, ia menjawab, “Aku yakin dia lagi mau sendiri.”

“Iya sih. Persis kaya kamu kalau lagi bete.” Intan tak lagi meminta, ia kembali menyantap makanannya. Sementara Irvan dan Indi terlihat makan dengan tenang. Mata keduanya terpaku pada rembulan yang bulat sempurna, jauh di atas puncak gunung Ceremai, namun pikiran mereka berdua tertuju pada satu sama lain. 

“Sayang, tadi Mbak Inge telepon. Katanya dia mau kasih hadiah kamar malam pertama nanti pas kita nikah. Tiga hari loh!” Irvan berusaha terlihat semangat dan bertanya, “Di mana?”

“Tempat terserah kita. Tapi kalau memang untuk malam pertama pasti di Jakarta atau deket-deket deh. Kalau buat honeymoon, kita bisa pilih yang jauhan. Tanggalnya kita kok yang nentuin,” jawab Intan. “Sayang maunya di mana?”

“Kamu saja yang nentuin.”

“Yang penting berdua ya, Sayang?” Irvan mengangguk, ia menahan diri untuk tidak melirik ke kiri, di mana Indi duduk dalam diam. Sama sekali tidak ada suara denting sendok yang beradu dengan piring, entah untuk berapa lama. Baru beberapa menit kemudian, gadis itu beranjak dari bangkunya, menghampiri meja di hadapan pasangan calon mempelai yang tengah duduk berdekatan. Dengan tenang ia berkata, “Besok kita berangkat jam enam.”

“Pagi bener, Kak!” Indi tidak bereaksi atas protes sang adik. Ia melempar pandangan kepada Irvan, hanya sekilas namun Irvan bisa merasakan luka hati dan kemarahan dalam mata sendu itu. 

Intan yang melihat itu, menatap kekasihnya. Gadis itu semakin yakin bahwa ada yang tak beres antara kedua orang yang ia sayangi. Ditunggunya hingga Indi cukup jauh masuk ke rumah. 

“Sayang lagi marahan sama Kak Indi? Jangan bilang enggak! Tadi Kak Indi keliatan marah, matanya aku liat,” ucapnya. Irvan mengangguk, ia tak punya pilihan lain, dan terlalu gelisah bahkan untuk mengarang satu kebohongan. 

“Mas Irvan pasti bilang enggak setuju ya sama rencana Kak Indi?” tanya Intan jengkel.

“Rencana apa?” tanya Irvan bingung.

“Rencana nikahnya Kak Indi.” 

“Indi mau nikah? Kenapa?” Walau belum mendengar tentang itu, Irvan percaya Indi bisa mengambil keputusan ekstrim dalam hidupnya. Gadis itu punya kekuatan hati yang luar biasa. 

“Kok kenapa? Ya karena cinta dong, Sayang. Andre udah berubah. Kak Indi yakin Andre serius sekarang.”

“Nikah terpaksa?” Kalimat itu tidak bisa dicegah, keluar dari bibir Irvan bersama emosi dari hati. 

“Kamu kenapa sih? Enggak boleh gitu, Sayang. Kak Indi aja maafin Andre, kok kamu enggak,” protes Intan. Kemudian ia mengusap pipi sang calon suami dan berkata lagi, “Jangan takut kehilangan soulmate. Aku malah seneng Kak Indi nikah, kita bisa cari rumah sebelahan di Jakarta.”

“Kita tinggal di sini,” ucap Irvan ketus. 

“Tuh mulai lagi deh. Udah deh, Sayang! Aku enggak mau kita berantem lagi soal tinggal di mana. Kalau Mas Irvan mau tinggal di sini, kawin aja sama Kak Indi!” Intan tidak tahu bahwa kalimat yang sebetulnya hanya bentuk kemanjaan membuat jantung Irvan tersentak. 

“Jangan ngomong gitu,” kata Irvan tegas. 

“Mas Irvan begitu sih.” Tidak ingin memperburuk keadaan, Irvan pun mengalah, dirangkulnya pundak Intan.

“Kita enggak usah bahas soal rumah, kita liat perkembangannya nanti setelah menikah. Yang penting kita menikah,” ucapnya lembut.

“Kita siapa?” tanya Intan masih merajuk.

“Kamu dan aku, tidak ada yang lain.” Irvan menjawab mantap, namun di sudut hatinya nama Indi menggema. Dihalaunya pikiran tentang gadis itu. Ia yakin rasa yang ada untuk sahabatnya itu adalah rasa sayang semata, bukan cinta. Namun, tak bisa dihindari hatinya semakin gelisah.

 Di dalam kamar, Indi tengah berusaha keras menghalau pikirannya tentang Irvan. Setiap detik dalam benak dan detak jantungnya, wajah dan nama pemuda yang telah membuatnya memupuk cinta terus menghantui. Bahkan tak sekali pun pikiran tentang Intan melintas, pun tentang Andre. Padahal sudah dua kali, kekasih performanya itu sudah dua kali menelepon, meminta Indi untuk menerima lamarannya. Pria yang pernah membuat Indi mencinta dan patah hati itu berkata bahwa hanya satu yang ia inginkan saat itu, menikah dengan Indi.

Di tempat tidur, gadis yang kembali merasakan patah hati itu terbaring gelisah dengan buku diary biru tergeletak di sampingnya. Dua puisi baru saja ia tulis. Namun, hatinya masih butuh pelampiasan. Diambilnya kembali buku catatan hati Irvan yang telah beralih menjadi miliknya. Indi membelikan buku itu untuk Irvan dan ia tahu pria berjiwa seniman itu rutin menulis. Pernah suatu kali ia membujuk pria itu agar memberinya izin untuk membaca tulisannya. Permintaan itu dipenuhi dengan Irvan tetap memegang bukunya dan hanya memberi izin Indi membaca halaman yang terbuka. 

Sejak dekat dengan Intan, sosok yang dicintai Indi itu berhenti menulis dan buku itu kembali pada Indi. Sedangkan sang penulisnya telah menjadi milik Intan. Ya, sang adik tersayang yang selalu mendapatkan segalanya. 


            Ini malam terakhir

            Tanya hatimu, Sayang.

            Tetapkan jiwamu.

            Cintai aku

            atau lepaskan!

            

Indi yakin ia akan kuat dengan apa pun yang terjadi nanti. Namun, ingatan tentang perhatian dan perlakuan mesra Irvan padanya, membuat hatinya kembali bergejolak. Emosi, cinta, dan sakit hati menjadi satu. Air mata mengalir ke pipi Indi, satu tetes jatuh di ujung kalimat terakhir. Indi menatap kosong hingga air mata itu menyerap sempurna. 

Satu jam berlalu, Indi masih belum bisa memejamkan mata, satu puisi baru saja tercipta membawa kemarahan yang menyesakkan dada. 

            Kamu jahat!

            Hatiku kamu pahat

Lihat selengkapnya