Langit masih biru gelap saat, mobil Irvan meninggalkan halaman rumah. Rencana keberangkatan dipercepat satu jam. Indi membangunkan adiknya, setengah memaksa untuk duduk. Ia juga meminta Bi Neni untuk membangunkan Irvan. Protes Intan dipatahkan dengan memberi penjelasan bahwa lebih cepat mereka naik ke gunung Ceremai, akan lebih waktu untuk memilih lokasi untuk dua sesi pemotretan.
“Kita belum tau medan di sana, De. Bisa juga butuh waktu lebih lama dari yang diperkirakan untuk sampai ke atas.” Begitu Indi meyakinkan adiknya. Menyadari bahwa ia satu-satunya yang belum pernah naik gunung, Intan pun akhirnya menurut.
Ide untuk mengadakan pemotretan di gunung Ceremai adalah hasil diskusi Irvan dan Indi, namun membayangkan dirinya mengenakan gaun putih berlatar belakang pemandangan spektakuler membuat Intan tergoda. Gadis itu berpikir setidaknya satu kali dalam kehidupan lajangnya ia merasakan pengalaman naik gunung, bersama dua orang yang paling ia sayangi. Sebagai anggota sport club yang rutin berlatih jogging dengan menggunakan threadmill, Intan yakin tidak akan kepayahan saat mendaki, lagi pula ia punya dua orang guardian angels yang selalu sigap mengurus dirinya.
Perjalanan menuju terminal berlalu dalam keheningan, Indi yang duduk di belakang bersama Intan terlihat enggan bicara, hanya menjawab dalam satu atau dua kata setiap kali adiknya bertanya. Begitu pun Irvan. Duduk di samping Pak Nanang, kerabat keluarga Pak Andi Yusuf yang sering diminta untuk datang jika diperlukan, pemuda itu irit bicara. Saat calon istrinya bertanya, ia hanya menjawab singkat.
“Sayang masih ngantuk?” tanya Intan.
“Iya.”
“Ya udah tidur lagi aja, lumayan dapet setengah jam. Kak Indi aja pules lagi tuh.” Dari kaca spion Irvan melihat Indi bersandar di kursi dengan mata terpejam. Ada rasa yang tidak bisa dimengerti bahkan oleh dirinya sendiri. Pengakuan cinta Indi membuat Irvan melihat gadis itu dengan rasa yang berbeda, rasa yang ia pikir tak pernah ada.
“Sayang, kok enggak jawab?” Tangan Intan yang memeluk dari belakang disambut Irvan dengan genggaman erat. Ia memejamkan mata, mencoba mencari rasa damai dari kelembutan jari-jari sang kekasih hati, namun kegelisahan yang terasa semakin menguat. Pemuda itu merasa frustrasi, bagaimana mungkin ia mencintai dua orang gadis yang mempunyai hubungan darah, saudari kandung yang sangat dekat satu sama lain.
Irvan tidak pernah meragukan rasa cintanya kepada Intan, pun ia tak pernah berpikir bahwa perasaan sayang untuk Indi lebih dari sekedar sahabat spesial. Namun apa yang terjadi kemarin malam, saat ia tak bisa mengalihkan pandangan dari mata sendu Indi, saat wajah mereka tak berjarak, rasa yang bergejolak di hati tidak bisa diingkari. Irvan tahu ia tak akan mungkin bisa menipu diri. Ia juga tahu Indi menangkap rasa hatinya.
Tanpa disadari, pemuda itu mengembuskan napas keras, membuat Indi membuka mata dan melirik ke kaca spion. Kembali satu detik tatapan yang bertemu membuat perasaan keduanya semakin tak menentu.
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Intan.
“Cape, kurang tidur,” jawab Irvan. Intan mendekatkan tubuhnya ke kursi depan, dari belakang diusapnya rambut sang kekasih hati yang kembali menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Indi membuang muka, tatapan penuh arti Irvan kemarin malam masih terus melekat di benaknya.
Kurang dari satu jam, mereka sudah sampai di Terminal Maja, Kuningan. Gunung Ceremai yang terlihat jauh lebih megah dibanding saat dilihat dari rumah Irvan. Intan merasakan luapan semangat dan kegembiraan.
“Pak Nanang, balik ke rumah atau ikut ke atas?” tanya Irvan.
“Punten, Den. Saya mah nginep aja di deket sini. Enggak kiat, Den, ari ikut ke atas mah. Saya nginep di rumah pun rai, caket ti dieu. Biar gampang jemputnya besok.”
“OK, kalau begitu.” Secara cepat Irvan menjabat tangan Pak Nanang, beberapa lembar uang sejumlah dua ratus ribu pun berpindah tangan.
“Nuhun, Den,” ucap pria 57 tahun dengan logat Sunda yang kental, badannya sedikit dibungkukkan tanda hormat, “Kalau Aden ada butuh apa-apa, telepon saya saja, Den.”
Perjalanan dilanjutkan dengan mobil sewaan, selain karena Irvan tidak tega membiarkan Pak Nanang harus turun sendiri melalui jalan yang cukup sempit dengan jurang yang cukup curam, ia juga ingin Intan mendapat pengalaman naik mobil bak terbuka. Terlihat sekali gadis itu menikmati duduk di bak mobil, senyuman lebar menghiasi wajah cantiknya. Bahkan Irvan yang tengah merasa galau tidak bisa menahan kekaguman. Merasakan tatapan kekasihnya, Intan menoleh, menepuk wajah Irvan lembut. Bibirnya mengucap tiga kata tanpa suara; I love you.
Irvan tersenyum lembut dan menatap lekat. Ia menarik tangan Intan ke dalam genggaman erat. Sejenak terlupa akan masalahnya dengan Indi, hingga suara benturan benda di lantai mobil membuatnya dan Intan menoleh. Indi terlihat membungkuk berusaha meraih ponselnya. Dengan sigap Irvan mengambil benda perak itu dan menyodorkannya pada Indi. Gerakan kasar sang kakak yang merebut ponsel dari tangan Irvan, diiringi tatapannya yang sangat tajam membuat Intan mulai curiga. Indi sedang dalam mood yang buruk dan adiknya yakin bahwa itu ada hubungannya dengan Irvan.
Di pos registrasi, pak penjaga yang senang bercerita melayani dengan cukup ramah. Tidak terlihat pengunjung lain selain mereka bertiga.
“Ini kok sepi, Pak?” tanya Irvan bingung.
“Muhun, A. hari kerja mah sepi. Kamari, rame, tahun baru, Ari sekarang mah tos lewat liburanana.” Mendengar jawaban itu, Irvan hanya manggut-manggut.
“Enggak ada pengunjung lain, Pak?”
“Aya. Nu kamari, teu acan turun. Aya dua rombongan. Nu tigaan sareng nu rame-rame, salapan orang.” Irvan hanya mengangguk.
“Tiga’an wae, A?” tanya sang bapak.
“Iya, Pak, cuma bertiga,” jawab Irvan singkat. Intan yang berdiri di sebelah kekasihnya menambahkan, “Saya dan calon suami saya mau foto prewed, Pak.”
Rupanya pak penjaga paham istilah itu. Ia bercerita jika belakangan cukup banyak pasangan calon pengantin yang memilih gunung Ceremai untuk lokasi pemotretan prewedding.
“Hati-hati wae, Neng. Jangan ngomong kasar, jangan emosi di atas. Bisi kenapa-napa,” pesan bapak yang rambutnya telah memutih itu.
“Kenapa-napa gimana, Pak?” tanya Intan cemas. Irvan mengelus punggung kekasihnya lembut untuk menenangkan.
“Di atas banyak godaan setan. Banyak orang ilang, orang putus juga banyak.”