Tiga puluh lima hari menuju hari pernikahan. Hari terasa berjalan sangat lambat bagi Irvan yang sudah tidak sabar mengakhir masa lajangnya. Setelah kerumitan yang harus ia hadapi, kini ia tinggal menunggu waktu saja untuk bersanding dengan bidadari pilihan hati.
“Tiga puluh lima hari lagi.” Pemuda tampan berucap lirih dalam keremangan beranda di rumah perkebunan milik keluarganya. Dari tempat duduknya, ia memandang lekat bulan yang nyaris bulat sempurna. Cahaya kuningnya di atas kegelapan gunung Ceremai seakan menyimpan kesedihan yang menular.
“Aaaahh ....” Suara bernada keluhan itu terdengar berat keluar dari bibir Irvan. Diusapnya wajah dengan kedua telapak tangan.
Tiga puluh lima hari lagi ia akan menikah, namun kebahagiaan terasa jauh dari dirinya. Relung hati terasa kosong, diisi kerinduan yang tertahan. Ia yang memiliki dua orang gadis terbaik dalam hidupnya, namun dengan bodohnya ia membuat diri terperosok. Walau kejujuran telah membuat Indi merelakannya untuk menikah dengan Intan, namun kehilangan gadis yang mengisi setengah hatinya itu terasa begitu menyakitkan. Sedangkan Intan bidadari hatinya yang mencinta dengan segala kepolosannya masih menghindar, walau sepertinya persiapan pernikahan tetap berjalan.
Dua hari lagi purnama akan sempurna, mungkin begitu juga kehidupan barunya nanti bersama Intan. Berdua mereka akan bahagia dalam mahligai cinta yang abadi. Bayangan Intan mengenakan gaun pengantin putih meluapkan rasa rindu di hati Irvan.
“I miss you, Sayang,” ucapnya lirih. Kembali dibenamkannya wajah ke dalam dua telapak tangan. Rindu dan cinta ternyata bisa begitu menyakitkan. Harapan untuk sebuah kebahagiaan tiba-tiba terasa menjauh, sejauh bulan di atas kegelapan gunung Ceremai. Kalau saja mudah untuk Irvan untuk tertidur, ia akan memilih untuk terlelap dan melupakan segalanya. Melupakan kebodohannya, melupakan Indi, dan melupakan sosok pengganggu yang kerap menghantuinya.