Luna merasa lega telah bertemu pasangan suami istri kandidat pengurus rumah. Mereka datang bersama putri mereka yang hanya lebih muda dua tahun darinya. Wawancara berlangsung lancar. Dari obrolan yang berlangsung sekitar setengah jam, kedua belah pihak sama-sama langsung mendapatkan kesan baik terhadap satu sama lain.
Tak ingin membuang waktu, Luna menelepon mamanya yang minta untuk bicara langsung dengan Mang Dayat dan Bi Neni. Bergantian pasangan suami istri itu berkenalan dengan Ibu Anggi yang ternyata mengajukan cukup banyak pertanyaan. Seperti juga putrinya, istri Pak Ilham itu merasa puas dengan hasil wawancara melalui telepon.
“Permisi, saya izin ke dalam dulu sebentar,” pamit Luna saat wawancara sang mama sudah selesai.
“A Rifky punten ke dalem dulu,” ucapnya lagi pada putra Pak Haji Jaka yang mengantar dan menemani pasangan suami istri yang ternyata adalah tetangga orangtua Bu Hajjah Nur yang tinggal di Garut.
Sesampainya di kamar, Luna langsung berbicara lagi dengan mamanya, ponsel memang belum dimatikan.
“Gimana, Ma? Una sih sreg banget.”
“Mama juga.”
“Jadi Mama setuju kita rekrut aja langsung? Apanunggu Mama Papa ke sini dulu?”
“Rekrut aja langsung, Una. Orang bagus begitu pasti cepet dapet kerjanya. Keduluan orang nanti.”
“Iya, Ma. Ehm, Una mau minta mereka mulai kerja minggu ini juga ya, Ma. Pokoknya secepat mereka bisa.” Mendengar nada suara putri kesayangan dan juga permintaannya yang tak biasa, naluri ibu sang mama tergelitik. Tidak biasanya Luna mendesak dan terburu-buru seperti itu. Ia adalah gadis yang penuh pertimbangan dan sangat sabar.
“Una kenapa? Ada kejadian apa di rumah?” Ibu Anggi bisa merasakan adanya masalah dari jeda yang cukup panjang untuk sang putri menjawab.
“Una, ayo bilang ke Mama. Jangan ada rahasia untuk urusan penting!” Luna menghela napas, ia tahu bukan waktunya untuk menyembunyikan fakta.
“Ehm, Una diganggu penampakan, Ma,” ucap Luna ragu, bahkan telinganya sendiri merasa aneh mendengar kalimat itu. Namun, reaksi sang mama membuat gadis itu bingung.
“Oooh, kirain apa. Kamu bikin takut Mama, Una.”
“Loh, kok? Kan memang penampakan bikin takut, Ma.”
“Iya ..., tapi itu mah biasa, Sayang. Rumahnya ‘kan udah lama kosong. Mama pikir ada orang jahat masuk ke rumah.” Antara lega dan geli, Luna tersenyum. Ia yakin kalau saja mamanya tahu dengan detail apa yang telah terjadi padanya, sang Mama akan ketakutan dan langsung mencari tiket pesawat untuk melindungi putrinya.
“Hahaha, iya sih. Orang jahat lebih menakutkan, ya Ma,” kata Luna. “Tenang, Ma. A Rifky mau bantu ngaji di rumah, Ma.”
“A Rifky siapa?” tanya Bu Anggi.
“Anaknya Pak Haji Jaka yang di rumah sebelah. Yang punya pesantren.”
“Oooh, Bu Hajah Nur?” ucap Bu Anggi, “Cakep enggak?”
Luna tertawa mendengar pertanyaan sang mama, namun ia juga langsung teringat bahwa Rifky dan yang lain menunggunya di ruang tamu.
“Ya ampun, Una lupa. Mereka masih nunggu di depan. Ma, udahan dulu ya.” Setelah menjawab ungkapan sayang dari mamanya, gadis itu bergegas kembali ke ruang tamu.
“Aduh, maaf, ya, bikin lama nunggu,” ucap Luna sopan. Semua langsung menyatakan tidak keberatan.
Mendapat persetujuan dari sang Mama dan tidak ingin kehilangan kandidat pengurus rumah yang baik, Luna langsung memberi tahu pasangan suami istri itu bahwa mereka diterima bekerja. Ia juga menuliskan angka di secarik kertas sebagai penawaran gaji yang mereka terima berikut keterangan THR. Mang Dayat dan istrinya terlihat senang. Saat Luna mengatakan bahwa ia ingin agar mereka bisa mulai menginap minggu itu juga, keduanya berkata bahwa mereka bisa mulai bekerja kapan pun.
“Alhamdulillah. Terima kasih Mang Dayat, Bi Neni,” ucap Luna.
“Kalau besok mulainya, boleh, Neng?” tanya Mang Dayat.
“Wah, boleh! Boleh,” jawab Luna bersemangat, kemudian ia melihat kepada putri pasangan suami istri itu dan berkata, “Wini ikut aja nginep di sini. Belum balik ke Garut ‘kan?”