Mbok Yu meletakkan piring datar yang berisi telur acak yang digoreng dengan sedikit mentega dengan campuran irisan bawang bombay, serta paprika. Segelas coklat panas telah lebih dulu diberikan pada Luna. Gadis itu memeluk mug berisi minuman panas itu dengan erat, mencari kehangatan pada permukaannya yang panas.
“Langsung dimakan, Mbak Una. Biar enggak keburu dingin,” ucap Mbok Yu. Dalam hatinya, perempuan yang lahir dan dibesarkan di Malang itu bersyukur, bukan dirinya yang mengalami itu karena ia tahu akan jatuh pingsan seketika jika berada dalam kondisi yang baru saja Luna ceritakan.
“Terima kasih,” ucap Luna tanpa semangat. “Tono belum bangun, Mbok?”
“Ndurung, Mbak. Palingan begadang sama temennya di depan rumah.” Karena ibunya tidur di kamar atas, Tono meminta izin untuk mengajak satu orang temannya untuk menemaninya duduk-duduk di beranda hingga mengantuk.
“Tono diganggunya gimana, Mbok?”
“Yaaaa, cuma diliatin sekelebatan gitu, Mbak Una. Enggak kaya Mbak Una gitu, Alhamdulillah. Padahal Tono itu tanggep, Mbak Una sama yang gitu-gitu.”
“Maksudnya tanggep?”
“Ya itu, gampang liat. Makanya takutan si Tono itu, Mbak Una.”
“Oooh ....” Luna meminum sedikit minuman coklatnya yang panasnya mulai berkurang. “Ehm, berarti Tono peka.”
“Tapi beneran dia cuma liat sekelebatan? Seperti apa yang Tono liat, Mbok Yu?" tanya Luna lagi, masih penasaran.
“Ya cuma bayangan gitu aja, lewat-lewat cepet gitu, Mbak Una. Tono bilangnya begitu.” Sejenak keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing. Kemudian Mbok Yu bertanya, “Ya kok dia ganggu Mbak Una, kenapa ya?”
“Dia tau nama saya, Mbok.” Luna tahu kalimatnya itu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan. Ia sendiri juga bingung mengapa dari tiga orang yang berada di rumah itu, hanya dirinya yang mendapat perlakuan khusus dari tamu tak diundang itu.
Gadis itu merasa butuh teman bicara yang bukan keluarga karena takut akan membuat mereka cemas. Akhirnya setelah cukup lama duduk-duduk di depan rumah, Luna memutuskan untuk mengirim pesan pada Rifky. Baru saja ia membuka whatsapp, ternyata sudah ada pesan dari tetangga sebelah rumahnya itu, yang masuk pukul sepuluh malam.
Assalamu’alaikum. Gimana keadaan di rumah? Semoga sudah tenang.
Dengan cepat Luna menjawab pesan dari itu.
Wa’alaykumsalam. Maaf baru baca. Dia dateng lagi dan tahu namaku. Hanya beberapa detik dari pesan dikirim, Rifky menelepon.
“Enggak enak wa’an. Jam sembilan nanti, aku boleh ke rumah?” Teman baru Luna itu rupanya sudah tidak lagi menggunakan kata saya.
“Boleh. Tapi jam sepuluhan aja, ya. Jam delapan aku mau ke pasar sama Mbok Yu.”
"Naik apa?" tanya Rifky.
"Mobil."
“Aku antar ya? Aku tahu jalan pintas.”
“Boleh, kalau enggak nyusahin.” Percakapan di telepon berakhir dengan senyum mengembang di wajah Luna.
Pukul sembilan lebih sepuluh menit, Rifky datang. Meminta maaf karena sedikit terlambat. Luna cukup terkejut saat temannya itu membukakan pintu mobil untuknya, lalu melakukan hal yang sama untuk Mbok Yu.
Gentleman, dalam hatinya gadis itu memuji.
“Urusan di pesantren sudah selesai?” tanya Luna membuka pembicaraan saat mobil Rifky sudah mulai melaju.
“Sudah. Jam delapan kurang selesai. Tadi aku ke rumah dulu pamit. Oh ya, Amih titip salam.”
“Salam kembali.”
“Jam berapa dia muncul lagi?”
"Siapa?" tanya Luna yang sedang melihat pemandangan. "Oh, itu yang malem-malem? Jam dua'an kayanya."
Luna pun menceritakan yang terjadi. Mbok Yu ikut menimpali. Dengan bersemangat asisten keluarga itu menceritakan betapa gemetar dan pucatnya Luna setiap itu terjadi.
"Dia tahu nama, Mbak Una, Den," ucapnya penuh semangat.
“Kenapa enggak telepon aku?” tanya Rifky menoleh pada gadis di sampingnya.
“Itu jam dua lewat.”
“Enggak apa-apa. Lain kali telepon ya.”
“OK. Tapi semoga enggak ada lain kali.”
“Aamiiin,” ucap Rifky membuat Luna menoleh. Ia bisa merasakan ketulusan dari kata itu.
“Kenapa aku ya, A? Padahal Tono lebih sensitif. Dia sejak kecil suka melihat penampakan. Iya ‘kan, Mbok Yu?” Ibunda Tono mengiyakan dengan singkat.
“Coba nanti kita urutkan mulai dari awal kejadian,” kata Rifky.
“Iya ya, betul juga.” Mobil membelok memasuki jalan yang hanya bisa dilalui satu mobil lalu sekitar 300 meter dari kemudian kembali berbelok memasuki area pemakaman yang cukup luas. Luna merasa takjub melihat betapa asri dan bersihnya pemakaman itu.
“Ini pemakaman umum?”
“Ya dan tidak,” jawab Rifky, “Uyut dari pewaris tanah ini memberikan pesan turun temurun supaya tanah ini digunakan untuk tempat pemakaman keluarga, pendakwah, warga pesantren, dan dhuafa.”
“Ya Allah, baiknya ....” ucap Luna, “Jadi ini jalan pintasnya?”
“Iya, kita menghemat hampir setengah waktu. Jalannya juga mulus.” Perkataan Rifky terbukti, tidak berapa lama kemudian mereka telah sampai di pasar yang pernah Luna datangin bersama mama-papanya. Gadis itu ingat, mereka melewati jalan yang lebih rumit dari pada yang baru saja ia lewati.
Di pasar, mereka berbelanja aneka keperluan sesuai yang catatan yang sudah Luna siapkan di rumah. Rifky terlihat sabar dan tidak terganggu oleh ramainya pasar. Bahkan ia membantu membawakan barang belanjaan walau kedua perempuan yang diantarnya bersikeras melarang pada awalnya.
“Selesai!” ucap Luna ceria.
“Enggak ada yang kelewat? Coba cek lagi listnya.”