Rembulan di Kaki Gunung Ceremai

R Fauzia
Chapter #31

Sosok Kedua

Irvan mempercepat langkah, sedikit khawatir melihat kabut yang semakin tebal. Ia juga menyesal terlalu asyik mengobrol dengan rombongan yang baru saja tiba. Dalam hatinya yakin Intan dan Indi mulai gelisah menunggu terlalu lama. Tadi ia terpaksa meninggalkan kedua gadis itu karena perutnya sudah sangat memberontak efek memakan sambal yang terlalu pedas. Intan terlalu lelah untuk ikut. 

Irvan cukup familiar dengan jalur pendakian. Cukup sering naik gunung dan berkemah, ia sudah bisa mengenali jalur umum yang sebaiknya dilewati oleh para pendaki. Setelah memaksa kaki berjalan cepat, calon pengantin itu merasa lega melihat dua tenda miliknya dari kejauhan. 

Ada dua tenda lain yang sepertinya baru dipasang. Irvan menduga itu adalah milik rombongan yang ia jumpai saat beristirahat untuk makan siang. Ia semakin yakin melihat sepatu di luar tenda milik rombongan baru. Sepatu itu menarik perhatiannya karena sama persis dengan yang pernah ia beli di Malaysia. Tak ada siapa pun di luar tenda, namun di dua tenda milik rombongan lain itu, Irvan bisa melihat bayangan dua orang yang sedang duduk. 

Mengalihkan pandangan ke tenda Intan dan Indi, hati Irvan berdebar, ada perasaan aneh yang menyergap tiba-tiba. Dipercepatnya langkah memasuki tenda, tak ada siapa pun di dalamnya. Irvan berlari keluar, melihat sekeliling. Kedua gadis itu tak terlihat di area luar. Kembali Irvan masuk ke tenda, mengecek semua barang yang ia ingat. Semua terlihat lengkap. Bahkan ponsel dua gadis itu tergeletak di matras. Kekasih Intan yang mulai diserang rasa panik itu, bergegas mendatangi dua tenda lain. Gemetar suaranya meminta tolong, tak ada jawaban. 

Aaah! Tidur mereka, gerutunya dalam hati. 

Diputuskannya untuk mencari ke arah pos berikut, ia ingat Intan sangat ingin pergi ke gua. Pikiran untuk kembali ke pos sebelumnya diabaikan, karena ia baru saja dari sana. Kalau kedua gadis itu menyusulnya, mereka pasti sudah berpapasan tadi. Irvan merasakan tubuhnya melayang oleh rasa gamang karena panik yang menyerang. Sepanjang jalan ia mengutuk dirinya sendiri yang meninggalkan kedua gadis yang ia sayangi tanpa pengawasan. Ia berjalan dan terus berjalan hingga malam telah sepenuhnya merengkuh bumi. 

Irvan berjalan dan terus berjalan tanpa arah. Ia berteriak sampai suaranya terasa serak, memanggil-manggil Intan dan Indi.  Dalam frustrasi dan kelelahannya, ia melihat Indi duduk di bibir jurang di tanah yang terbuka. Gadis itu menangis sendirian. Tak terlihat Intan. Sinar bulan purnama menerangi tempat itu. 

“Ndiii!” Tak bereasi Indi pada suara Irvan. “Indi? Indiii!”

Indi tetap tak menjawab, namun tubuhnya bergetar dan terus menangis, kepalanya menelungkup diantara kedua lutut.  Irvan membimbing gadis itu untuk berdiri. Melihat wajah Indi yang ketakutan membuat pemuda itu yakin ada sesuatu yang terjadi.

“Kamu kenapa? Intan mana?” Irvan menguncang-guncang bahu gadis di hadapannya. Indi tak menjawab malah tangisnya semakin keras, gadis itu histeris. Matanya liar menatap ke kiri kanan seperti tidak melihat Irvan. 

“Kamu ikut aku! Kita cari Intan!” perintah Irvan, namun Indi malah berlari menjauh, seketika kegelapan melenyapkannya.   

Merasa cemas akan kondisi Intan, Irvan memutuskan untuk mencari Intan lebih dulu, berharap bahwa Indi akan bertemu dengan rombongan lain dan bisa meminta pertolongan. Entah berapa lama pria yang akan menikah itu menjelajahi hutan, menembus kegelapan, melawan takut dan rasa sakit di kedua kakinya. Namun, selalu saja ia kembali di titik yang sama, di bibir jurang tempat ia bertemu Indi. 

“Sayang di mana kamu?” Irvan mulai dikuasai oleh rasa panik dan ketakutan akan kehilangan Intan. Rasa bersalah bermain-main di pikirannya. Bayangannya bersama Indi, ingatannya bersama Intan menari-nari dibenaknya. 

“Intan, maafkan aku sayang. Maafkan aku.” Irvan menangis. Tiba-tiba suara Indi memanggil namanya membuatnya beranjak. Ia berlari ke arah datangnya suara, kembali memasuki kegelapan. 

“Ndi! Indiiiii!” Irvan berteriak hingga lelah. Bayangan putih di kejauhan membuatnya terpaku. Intan dengan gaun pengantin putih berjalan mendekat, terlihat begitu cantik.  

“Sayang ....” Irvan mengulurkan tangan namun Intan pergi menjauh. Kembali pria yang hampir kehabisan napas itu berlari, mengejar kekasihnya. 

Irvan berlari dalam gelap, akar pohon yang menjulur membuatnya terjatuh. Kepalanya membentur batu. Saat hampir menyerah, ia kembali melihat Intan. Dengan sisa tenaga, melawan rasa sakit di dada yang semakin menjadi-jadi, Irvan kembali berlalu. Beberapa saat kemudian, ia telah berada di permukaan sempit di bibir tebing, tempat di mana ia bertemu Indi. Bulan purnama terlihat sempurna. Tak ada Indi di situ.

Irvan menangis, tenaganya habis. Tak kuat lagi, ia jatuh terkulai dengan tangan memegang dada. Rasa sakit yang hebat membuat tubuhnya menggelepar. Ia menangis tanpa suara. Dilihatnya Intan berdiri, terlihat cantik dengan gaun putih, memandang ke bawah dengan tatapan sayang. Lirih Irvan memohon maaf, tangannya menggapai-gapai. Tangan putih Indi yang terulur, menghentikan tangis dan rasa sakitnya. 

Di langit, bulan purnama bulat sempurna, cahayanya yang terang benderang menerangi bibir tebing dan tubuh Irvan yang terkapar tak bergerak. 

            

***

Luna telah tengah bersandar di tempat tidur, dengan buku diary biru di tangan. Ragu ia memutuskan untuk membacanya malam itu atau besok. Rasa takut dan keinginan yang kuat untuk mengungkap misteri sosok pengganggu, membuat hatinya terbelah. Akhirnya rasa penasaranlah yang menang. 


            Jika malam bisa membalut luka,

            tiada inginku menanti pagi. 

            Biar saja kuselimuti lara

            dengan angan cinta sejati. 


Baru satu kata terbaca di bait kedua, ia dikejutkan suara jeritan dari lantai bawah. Diikuti dengan percakapan dalam bahasa Sunda. Mbok Yu yang semula telah berbaring sudah dalam posisi duduk. 

“Itu Bi Neni, Mbok?” 

Lihat selengkapnya