Mbok Yu masih menangis walau Bi Neni dan Wini sudah berusaha menghiburnya. Perempuan kelahiran Malang merasa bersalah karena tertidur dan membuat Luna dalam bahaya. Ia juga cemas melihat gadis asuhannya belum juga bangun, terbaring di atas sofa ruang TV.
“Udah, Mbok. Teh Luna bukan pingsan, tadi udah sadar. Teh Luna tidur.” ucap Wini.
Beberapa saat setelah pingsan, mereka membopong Luna dan membaringkannya di sofa. Bi Neni mengoles pelipis dan kening gadis itu dengan minyak kayu putih hingga gadis itu tersadar. Namun rupanya, rasa lelah membuatnya tertidur lelap.
Saat Rifky dan ibunya datang bersama dua orang lain pesantren, Luna tidak terbangun.
“Belum sadar?” tanya Rifky dengan suara pelan. Rupanya, ia sudah berpesan pada Tono untuk menelepon jika sesuatu terjadi di rumah itu.
“Parantos, Den,” jawab Bi Neni.
“Tapi terus langsung tidur.” Wini menambahkan. Mbok Yu kembali menangis saat bercerita pada Rifky dan ibunya.
“Enggak apa-apa, Bu Yuni. Bukan salah Bu Yuni. Sudah jangan nangis lagi. Nanti Luna kebangun.” Perkataan Bu Hajah Nur membuat Mbok Yu sedikit tenang.
“Tadi itu lagi baca buku, Den,” lapor Mbok Yu pada Rifky yang langsung tahu buku apa yang dibaca Luna. Segera saja ia mengajak dua temannya untuk berpindah duduk ke ruang makan dan mulai mengaji di sana.
Tiga puluh menit kemudian Rifky selesai membaca dan kembali menengok Luna yang masih tertidur lelap. Selembar bed cover menutupi tubuh gadis itu dari kaki hingga ke leher.
“Masih bobo, Den,” ucap Bi Neni.
“Jangan dipindah, biar di sini saja. Ditemenin terus ya, gantian jaga,” pinta Rifky, “Kalau Teh Luna bangun, saya di depan sama yang lain.”
Pemuda itu melangkah ke luar diikuti ibunya. Saat Luna terbangun, waktu sudah menunjukkan pukul tiga lewat sebelas menit. Wini dan ibunya tertidur di karpet. Mbok Yu yang sedang membaca kitab suci kecil mengangkat wajah mendengar suara gerakan. Mbok Yu menghampiri dan memeluk gadis itu sambil menangis serta meminta maaf.
“Saya pingsan, ya Mbok?” tanya Luna setelah berusaha mengingat apa yang terjadi.
“Iya, Mbak Una. Mbok sampe takut. Saya buatkan coklat panas, ya Mbak Una?”
Luna mengangguk. Tubuhnya terasa lemah untuk bangun. Kepalanya sangat pusing. Ia tetap berbaring. Beberapa saat kemudian, hawa dingin masuk dari arah pintu rumah, membuat gadis itu menoleh dan merasa terkejut melihat siapa yang masuk.
“Jangan bangun!” Rifky berkata sambil melangkah mendekat.
“Ibu bikinin minuman anget, ya Geulis?” tanya Bu Hajah.
“Nuhun, Ibu. Lagi dibikinin sama Mbok Yu,” jawab Luna, mencoba bangun, namun tangan Ibu Nur menahannya. Walau merasa risih berbaring di depan Rifky, gadis itu patuh dan kembali merebahkan diri, kakinya terasa terlalu lemah untuk bangun.
“Punten jadi merepotkan,” ucap Luna. Entah mengapa matanya berkaca-kaca, namun ditahannya sekuat mungkin untuk tidak menangis.
“Ada yang sakit?” tanya Rifky berkata lembut, matanya menatap cemas. Luna menggeleng dan menjawab pelan, “Cuma cape.”
“Jangan banyak ngomong dulu, istirahat,” ucap Bu Hajah Nur.
Setelah memberi beberapa pesan pada kedua pengurus rumah, Bu Hajah mengajak putranya pulang. Dari masjid sudah mulai terdengar lantunan ayat-ayat suci.
“Tidur jangan banyak jalan. Jangan baca lagi,” pesan Rifky.
***
Tak bisa memahami apa yang terjadi padanya, Luna gelisah memikirkan pesan dari kejadian kemarin malam. Saat telah merasa lebih baik, ia mulai membaca lagi buku diary biru. Dalam pikirannya, membaca siang hari tidak akan memberi dampak buruk. Gadis itu merasa puas telah membuat keputusan itu, karena mendekati halaman terakhir dari lembaran yang sudah terisi, ia mendapatkan satu nama.
“Van,” gumam Luna, “Namanya Van.”
Dengan bersuara, ia membaca lagi penggalan puisi yang memuat nama itu.
Sungguh, kamu jahat, Van!
Mengikat hati pada dia yang hadir hanya sesaat.
Lemahnya aku
tak bisa mengajari hati
untuk membencimu ...
*gadis baik tak boleh membenci.
Ini antara Van dan gadis baik, Luna berkata dalam hati. Berbagai macam pertanyaan dan jawaban muncul saat ia mencoba mengingat semua kejadian. Merasa butuh teman diskusi, gadis yang masih terlihat pucat itu mengambil ponsel. Angka di sudut kanan atas layar menunjukkan pukul 10.07. Kemudian, diketiknya pesan dengan cepat. Jawaban ia terima dalam waktu kurang dari satu menit; 15 menit lagi aku ke rumah.
Tepat pada waktu yang dijanjikan, Rifky menaiki tangga beranda, mengucapkan salam pada sang empunya rumah yang sudah duduk menunggu.
“Wa’alaykumsalam,” ucap Luna.
“Apa ini?” Tangan Rifky menyentil buku diary biru di atas meja, “Ada yang enggak nurut ternyata.”