Luna berjalan dalam gelapnya hutan gunung Ceremai. Bulan purnama yang sebelumnya bermurah hati memberi cahaya indah kini tertutup awan tebal. Gerimis pun mulai turun, rinainya lembut namun cukup membuat tubuh Luna semakin menggigil.
“A Rifky! Aa ..., Aa!” teriak Luna.
Sudah lelah ia berjalan mencari Rifky, namun selalu saja ia kembali ke titik yang sama, yaitu tanah sempit terbuka di bibir tebing. Dilihatnya dari kejauhan seorang pria berdiri dengan punggung menghadapnya. Luna mengulurkan tangan untuk menepuk. Ia menjerit saat jari-jarinya menembus bahu pria itu.
Pria itu menoleh. Luna mengenalinya sebagai sosok yang kerap datang di malam hari. Gadis itu kembali berlari hingga semakin dalam ke hutan. Ia melihat seorang gadis bertubuh mungil menangis tersedu-sedu di bawah pohon. Gadis itu berlari menjauhi Luna yang mengejarnya hingga ke bibir tebing. Di sana, berdiri gadis lain bergaun putih. Luna tahu ia pernah melihatnya di halaman rumah.
Luna melihat kedua gadis itu berpelukan. Namun yang terjadi kemudian, membuat Luna menjerit, si gadis mungil memukul gadis lainnya dengan batu besar. Darah mengucur di gaun putihnya. Gadis berparas bidadari itu berjalan mendekati Luna, terlihat sangat cantik, darah mengucur dari pelipisnya.
“Aaarrgh!!!” Luna menjerit.
Kamar tidur lantai dua hening. Bahkan suara dengkur Mbok Yu tidak bisa terkalahkan orang keheningan yang terasa kuat. Dengan rasa takut yang masih tersisa, Luna melihat sekeliling. Semua terlihat normal.
Mimpi itu lagi. Batin Luna berkata. Itu adalah mimpi ketiga kali yang datang di tidur malamnya sejak peristiwa ia pingsan. Penampakan Irvan sudah tidak pernah terlihat lagi. Namun, sebagai gantinya mereka datang lewat mimpi bersama satu orang gadis lain.
Ketika Luna bercerita tentang mimpinya itu pada Rifky, temannya itu berkata, “Tiga kali mimpi yang sama. Hmm ..., misi kamu belum selesai.”
“Siapa ya, perempuan yang satunya lagi, A?”
Alih-alih menjawab, temannya itu malah bertanya, “Kamu mau makan mie enak?”
“Aku lapar, kita ajak Wini ya,” ajaknya, membuat Luna bingung.
Dua puluh menit kemudian mereka bertiga sudah berada di sebuah rumah mie ayam yang disukai Rifky. Pemuda itu meminta Luna menceritakan mimpinya kepada Wini yang menyimak dengan serius.
“Kayanya itu calon kakak iparnya Mas Irvan, Teh,” ucap putri Bu Neni. “Namanya saya lupa.
“Kamu pernah ngobrol sama dia?” tanya Rifky.
“Pernah. Punten, bukan mau ngomong jelek. Kalau menurut Wini ....” Gadis itu terlihat ragu.
“Kenapa, Win? Cerita aja, kita ‘kan niatnya bantu mereka,” ucap Luna.