Rembulan di Kaki Gunung Ceremai

R Fauzia
Chapter #34

Duka Seorang Adik

Merasa seperti berada dalam mimpi, sulit bagi Luna mengalihkan pandangan dari Naraya, adik Irvan yang duduk di hadapannya. Dibantu Rifky dan Wini, ia telah menjelaskan maksud kedatangannya dan telah bercerita dengan cukup lengkap. 

Tidak seperti yang dikhawatirkan, Naraya menerima cerita Luna dengan lapang hati. Secara terbuka, adik Irvan itu bercerita tentang tragedi keluarganya. Ketenangannya saat bicara, mata teduhnya yang menyimpan luka seperti magnet yang menarik ketiga orang tamunya. Suaranya lembut dan menyihir. 

“Akhirnya saya menyerah,” ucap gadis berhijab itu menutup kisah yang pilu dari bibirnya. Luna bisa melihat kesedihan yang dalam di mata Naraya. 

“Mimpi kita sama,” ucap Luna, “Semua yang terjadi membuktikan bahwa Mas Irvan tidak bersalah, tidak juga bunuh diri.”

“Saya yakin itu,” kata Naraya. “Penyelidikan juga tidak bisa membuktikan. Semua terlalu rumit, terlalu menyakitkan. Hasil penyelidikan, Mas Irvan bersih.”

“Maaf, Mbak. Berarti penyelidikan dihentikan karena tidak terbukti?” tanya Luna. 

“Iya. Dan ..., keluarga Intan juga meminta polisi untuk menghentikan penyelidikan. Mereka tidak mau menuntut. Mereka juga menolak Intan diotopsi.”

“Mas Irvan, diotopsi?” tanya Rifky.

“Iya. Hasil otopsi, serangan jantung bukan bunuh diri, tidak ada racun, bersih. Tapi pesugihan, bagaimana bisa menjelaskan orang-orang soal itu. Mereka cuma menyerap apa yang mereka mau dengar.” Ada emosi yang kuat dalam nada suara Naraya.  

“Saya percaya, sejak awal bahwa kakak saya tidak bersalah, tidak bunuh diri, apalagi membunuh. Tapi ..., mimpi kita sama, Mbak Luna.” Naraya memandang pada Luna kemudian melanjutkan kalimatnya, “Ada batu itu. Batu berdarah. Intan juga berdarah.”

Bagaikan film yang tengah diputar, adegan demi adegan dalam mimpinya yang berulang, kembali terbayang di benak Luna. 

“Mimpi itu punya arti,” ucap gadis itu pelan.

“Iya, mimpi itu punya arti.” Naraya mengulang kalimat itu dengan penuh perasaan.

Gadis yang sejak dua tahun lalu tinggal di rumah neneknya di Ciamis melihat pada Luna beberapa saat, kemudian bertanya, “Tolong saya, Mbak Luna, katakan sejujurnya kalau Mbak Luna pikir kematian Intan adalah bunuh diri atau kecelakaan.”

Luna menggigit bibirnya, menoleh pada Rifky yang mengangguk, kemudian kembali menatap adik kandung Irvan yang masih menunggu jawaban. 

Lihat selengkapnya