Bulan purnama bulat sempurna di atas megahnya gunung Ceremai. Berlampukan cahaya bulan, Intan masih terus berjalan menembus hutan, mencari kekasih hatinya yang hilang entah ke mana. Sambil terus berusaha menenangkan kakaknya yang semakin lemah dan patah semangat, ia mencoba setiap jalur yang bisa dilalui. Namun, selalu saja mereka berdua kembali ke titik di yang sama, ke tempat terbuka di bibir tebing.
Diajaknya sang kakak untuk beristirahat di bawah pohon besar. Berlindung dari gerimis yang mulai turun. Rinainya lembut namun cukup rapat untuk membuat mereka menjadi basah. Daun yang rimbun dari pohon yang menjulang tinggi melindungi mereka dari hujan.
“Sayang, kamu di mana?” rintih Intan, sambil terus membelai kepala Indi yang masih terus menangis. Wajahnya dibenamkan di antara kedua lutut.
“Kita harus kuat! Pasti ada yang datang menolong. Kita pasti bisa balik ke tenda,” ucap Intan dengan gigi gemeretak. Disingkirkannya helaian rambut yang menempel di pipi kiri dan kanan. Ia bisa merasakan telapak tangannya sendiri yang sedingin es.
Suasana hutan yang sepi terasa lebih menakutkan dari gelapnya malam. Bunyi tonggeret seakan tertelan oleh kesunyian hutan larangan. Hati Intan semakin bertambah kalut. Gadis itu takut, sangat takut. Sekilas bayangan hitam melesat di antara dua batang pohon besar. Intan yang ketakutan juga melesat pergi.
Bayangan di antara dua batang pohon terpaku melihat sosok perempuan bergaun putih pucat terbang tinggi.
“Astaghfirullah, kun... kuntii! Ada kuntiii!!!” teriak salah satu pendaki gunung itu.
Intan kembali menembus gelapnya hutan gunung Ceremai ditemani cahaya bulan yang berhasil lolos dari rapatnya dedaunan di ketinggian pohon. Ia mencari dan mencari sang kekasih hati. Satu-satunya pria yang bisa membuatnya jatuh cinta. Satu-satunya pria yang berhasil menaklukkan hatinya, yang ia inginkan untuk menjadi pendamping hidupnya.
Intan terus berjalan. Lagi-lagi semua jalur yang dilalui membawanya kembali ke titik yang sama. Ia menghampiri dan memeluk Indi yang menangis di bawah pohon, dibelainya rambut kakak tercinta yang telah begitu sabar dan penuh kasih mendampinginya, bahkan melebihi ibu mereka.
Tiba-tiba, Intan merasakan kepalanya berdenyut. Nyeri di tempurung belakang dan di pelipis begitu hebat. Dengan kedua tangan, gadis itu menekan kepalanya kuat-kuat berusaha meredam rasa sakit. Matanya mendarat pada gaun putihnya yang basah oleh darah.
“Kak Indi, ini apa? Aku kenapa, Kak?” tanya Intan panik. Diulurkannya tangan ke tubuh Indi yang bergeming. Namun, seluruh jari-jarinya menembus raga sang kakak. Dalam kepanikan, pandangannya jatuh ke tangan Indi yang memegang batu besar. Ada darah di batu itu, ada darah di tangan dan kemeja Indi.
“Kak? Kakak!” Intan merasakan kepalanya nyeri, tubuhnya terdorong sangat kencang diikuti dengan jeritan melengking yang menyayat hati.
Di bibir tebing, Indi bergeming memotret wajah sang adik yang ketakutan dengan benaknya. Ia hanya menatap hingga model cantik itu jatuh dan hilang dari pandangan. Sesaat kesunyian mengisi ruang di sekeliling Indi. Gadis itu mengangkat tangan kanannya pelan, menatap kosong batu di tangannya.
Indi berjalan sangat perlahan mengikuti jalur pendakian hingga ia menemukan kubangan air yang cukup dalam di bawah akar pohon besar. Dibuangnya batu itu ke sana. Kegelapan hutan gunung Ceremai menjadi saksi bisu.
***