Wini mengangkat tumpukan terakhir dari baju-baju milik Luna yang telah ia lipat rapi.
“Teh Luna, yang ini di karpet atau lemari?”
“Karpet,” jawab Luna, memandang lemari yang terlihat lowong karena sebagian besar isinya sudah dipisahkan dan ditumpuk di karpet untuk di bawa Wini.
“Tuh ‘kan, Win, langsung kosong lemari saya. Waktu itu penuh karena yang enggak muat juga kecampur di sini.”
“Yah namanya juga orang pindahan, Teh. Pasti barang kecampur-campur. Teh Luna ‘kan barangnya banyak.”
“Enggak banyak dong, itu lemarinya lowong.” Luna tertawa. Ia merasa senang karena Wini telah memutuskan untuk tidak kembali ke Garut. Luna menawarkan pekerjaan pada gadis yang menyenangkan diajak berteman itu untuk membantunya mengurus pencatatan keuangan dari dua toko beras milik keluarganya yang akan mulai beroperasi dua bulan mendatang.
Dering telepon masuk menghentikan tawa Luna, nada suaranya melembut saat menjawab salam.
“Wa’alaykumsalam,” ucapnya, “Di kamar sama Wini.”
Beberapa saat gadis itu menyimak apa yang dikatakan Rifky di seberang telepon. Dari lima kalimat yang disampaikan, gadis itu hanya bereaksi dengan satu pertanyaan, “Oh, Nara telepon kamu?”
Rifky menjawab ringan bahwa ia telah berbicara di telepon dengan gadis itu sebanyak tiga kali. Luna merasa jengkel atas pada pemuda yang belakangan membuatnya selalu rindu itu. Dalam kurun waktu satu minggu sejak kunjungan mereka ke rumah Nara, Rifky hanya meneleponnya satu kali. Rupanya cukup lama Luna berdiam.
“Una?” panggil Rifky.
“Iya," jawab Luna tidak bersemangat.
“Kirain putus.”
“Enggak.”
“Lagi sibuk, ya? Jawabnya singkat-singkat,” kata Rifky.
“Lagi beberes.”
“Ya, sudah. Terusin aja. Besok aku ke rumah, ya.” Luna hanya menjawab ya. Saat sambungan terputus, gadis itu menarik napas panjang. Tanpa bisa dicegah hatinya menjadi gelisah. Dorongan rasa ingin tahu membuatnya bertanya pada Wini.
“Win, A Rifky selalu baik sama semua orang, ya? Ehm, perempuan.”
“Iya, Teh. Sama saya aja baik.”
Jawaban itu sama sekali tidak membantu. Luna bertanya lagi, “Dari dulu deket sama Nara?”
“Punten, saya enggak tahu, Teh. Tapi kayanya lebih deket sama Teh Luna.”
Luna merasa bahkan pendapat Wini pun tidak bisa membuat perasaannya lebih baik. Dalam hatinya ia menanti datangnya esok.
***
Luna sedang duduk-duduk di beranda bersama Dion ketika mobil Rifky memasuki pekarangan. Gadis itu berpikir mungkin temannya itu baru datang dari suatu tempat dan mampir untuk memenuhi janji. Hati yang berdesir senang berganti kekecewaan, saat dilihatnya Nara keluar dari mobil itu.
“Tenang, janur belum melengkung,” ucap Dion melihat mimik adiknya berubah.
“Jangan ngawur deh,” protes Luna, namun ia meminta sang kakak untuk tidak masuk. “Temenin aku, Mas.”
“Lagi di sini, Mbak Nara?” tanya Luna membuka percakapan.
“Iya, sampai tadi siang.”
“Oh, menginap di mana?”
“Di hotel, tadi ke sini di jemput Rifky,” jawab Nara tanpa menyadari bahwa jawabannya membuat Luna tak bersemangat.
“Oh ya, takut lupa nanti. Saya mau balikin ini,” ucap adik Irvan sambil menyodorkan buku diary biru yang ia pinjam dari Luna.
“Eh enggak usah, Mbak Nara! Dibawa saja lagi, Mbak,” tolak Luna, “Mbak Nara lebih berhak menyimpannya.”
“Terima kasih, Mbak.” Sikap adik Irvan yang tenang dan anggun.
“Mas Dion, sudah kemana saja di sini?” tanya Rifky.
“Ke sawah, ke kebun. Hahaha, bingung mau kemana.”
Selama beberapa menit kemudian, kedua pria muda tersebut mendominasi percakapan hingga akhirnya Dion menyadari kegelisahan sang adik dan Naraya. Diputuskannya untuk membantu sang adik dengan bertanya, “Mbak Nara, sedang liburan ke sini?”
“Bukan, Mas,” jawab Nara. “Sebetulnya saya ke sini mau minta tolong sama Mbak Luna.”