Luna tidak ingat kapan terakhir kali ia dimarahi oleh mama-papanya. Namun, gadis itu yakin ia tidak akan melupakan kejadian malam itu, saat ia diceramahi panjang lebar oleh kedua orangtuanya dan juga oleh Dion karena kenekatannya. Tak satu kali pun Luna diberi kesempatan membela diri.
Namun satu-satunya anak perempuan dalam keluarga itu mengerti, keluarganya marah karena peduli dan sayang. Mereka ingin ia mengambil pelajaran dari keputusan gegabah yang ia buat. Dalam hatinya Luna setuju dengan semua yang dikatakan kakak dan orangtuanya. Ia merasa jera dan tidak ingin melibatkan diri pada hal-hal seperti itu lagi. Sesungguhnya bahkan dirinya sendiri masih merasa takut jika mengingat reaksi Naraya tadi.
“Una minta maaf, Ma, Pa. Una kapok kok,” ucapnya seperti gadis kecil.
“Jangan lagi-lagi, Una. Apa kamu mau bikin Papa jantungan?”
“Papa, istighfar. Jangan ngomong gitu.” Luna memeluk mama-papanya bergantian, kemudian meninju lengan kakaknya, “Maaf dan makasih, ya Mas.”
“Kamu juga, Mas, harusnya dimarahi juga! Bukan ngelarang adiknya, eh malah ikut!” protes Bu Anggi.
“Yah kena juga deh.” Dion menepuk keningnya membuat semua tertawa termasuk Dimas.
“Ada untungnya, Ma, aku ikut. Jadi bisa tahu cowok mana nanti yang cocok buat jaga anak gadis Mama,” ucapnya, diikuti seringaian khas yang selalu membuat Luna gemas.
“Gosip!” tukas sang adik.
“Siapa yang cocok?” tanya Pak Ilham.
“Memangnya sudah ada? Kok, Mama enggak dikenalin, Una?” protes sang Mama.
“Cuma teman, Ma. Kemarin juga A Rifky ke sini sama cewek lain.” Jawaban Luna itu menjadi bumerang baginya.
“Loh, memangnya aku nyebut Rifky?” goda Dion. Melihat adiknya tersipu, sulung yang masih lajang itu berkata lagi, “Tenang, Dek, aku restuin.”
“Mama Papa siap-siap aja, Una dilamar anak pesantren.” Dion masih menambahkan.
“Wah, iya ya. Malah bisa-bisa enggak pakai jadian dulu,” celetuk Bu Anggi, “Gimana itu, Pa, kalau begitu?”
“Baguslah, Ma. Pusing kita berkurang jagain anak perempuan.”
Luna tertawa geli mendengar percakapan yang terasa hangat di hati. Tiba-tiba ponsel miliknya di atas meja berdering. Melihat nama di layar, ia berkata, “Panjang umurnya.”
Semua menoleh pada gadis itu, saat ia menjawab salam, “Wa’alaykumsalam, A.”
“Aku masih marah. Bener-bener marah,” tukas Rifky ketus, membuat Luna terkejut.
“Marah sama aku? Kenapa marah?” Tak ada jawaban. “Marah kenapa, A?”
“Kamu bikin aku marah.”
“Kalau marah kok nelepon?”
“Ya buat marah.” Luna merapatkan bibirnya, nyaris tertawa.
“Aa marah soal tadi?” Tak ada jawaban, Luna berkata lagi, “Aku baru aja dimarahin Mama-Papa. Sama Mas Dion juga.”
“Bagus,” ucap Rifky, masih ketus.
“Kok gitu?” tanya Luna.
“Karena kamu enggak mikir panjang,” ucap Rifky, “Kamu membahayakan diri sendiri.”