Rembulan Maheswari

Dee🍓
Chapter #2

1. Siapa Dia?

PERKENALKAN, namaku Rembulan. Rembulan Maheswari, lengkapnya. Si gadis remaja pengagum hujan. Entahlah, aku pun tak tahu pasti alasan menyukai hujan. Yang jelas, saat hujan turun aku merasakan kedamaian tersendiri.

Haha, tapi itu dulu. Sebelum mengalami kecelakaan dan terdiagnosa "Tuna Rungu". Semenjak itu, aku jadi benci hujan, semesta, dan diriku sendiri.

Byur!

Seseorang yang entah sengaja atau tidak, tiba-tiba menumpahkan jus mangganya pada baju seragamku.

"Ups," ucap gadis itu yang kudengar melalui hearing aid. Salah satu tangannya bergerak menutup mulut serta wajah, kemudian menampilkan ekspresi bersalah yang dibuat-buat.

Semua pandangan kini tertuju pada kami. Sedangkan gadis itu tersenyum miring, lantas berkata, "Kenapa? Nggak suka?" Seketika keningku berkerut.

Aku menatap pada baju yang kukenakan. Betapa mirisnya aku sekarang.

"Kenapa cuma diem aja?" tanyanya yang seolah meledek. "Oh iya gue lupa, lo kan bisu!" lanjutnya dengan penuh penekanan pada kata terakhir.

Jujur saja, aku benci di situasi seperti ini. Benci saat orang-orang menghina dan mengejek tanpa alasan yang logis. Ditambah, diriku yang tak mampu untuk melawan malah semakin terlihat tak berdaya.

Segera aku bangkit dan beranjak pergi karena tak ingin kejadian yang menyesakkan itu terulang kembali. Di mana ia sempat mengeroyokku hingga aku terluka lumayan parah. Walaupun pada akhirnya mereka di skors, tapi itu tak membuatnya jera.

Kubuka pintu toilet dengan kasar hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Tak lama setelah itu badanku merosot, memeluk lutut, dan menenggelamkan wajah di sana.

Iya, aku menangis.

Rasanya benar-benar menyakitkan ketika orang-orang enggan memperlakukanku sama dengan yang lain. Bahkan, mereka tega untuk bermain fisik. Memang, ini bukan kali pertama atau kedua. Namun, untuk bersikap seolah baik-baik saja itu sangat sulit. Aku tetaplah manusia biasa yang dapat menangis ketika diperlakukan tidak adil.

Entahlah, sudah berapa lama berdiam diri di sini dan menangis, rasanya begitu melelahkan.

Perlahan, aku mencoba bangkit dan keluar. Kemudian, menyalakan keran wastafel lalu menyiramkan sedikit air pada baju yang terkena jus mangga tadi. Duh, rupanya sudah hampir mengering.

Setelah dirasa lumayan bersih, kulangkahkan kaki menuju kelas. Ternyata sudah banyak orang yang menggendong tas. Pandanganku terarah pada jam yang melingkar di tangan, rupanya sudah jam pulang, ya? Aku bahkan sampai melupakan pelajaran terakhir. Kelas pun kini sudah kosong.

Aku menghela napas kasar saat melihat barang-barangku berceceran di mana-mana, juga kotor karena terinjak. Hanya bisa pasrah lantas memunguti satu per satu.

Setelah dirasa cukup, langkahku membawa pergi menuju parkiran, mengayuh sepeda keranjang satu-satunya menuju tempat favorit yang hampir setiap pulang sekolah selalu kukunjungi.

Akhirnya sampai juga. Kuletakkan sepeda itu tak jauh dari sana, lantas menaiki pohon dengan tangga kayu.

Oh iya, hampir saja aku lupa menceritakan sedikit tentang tempat ini.

Jika kalian bertanya alasan aku menyukai tempat ini, jawabannya karena tempat ini begitu memanjakan mata. Ada danau dengan rumah pohon di sebelahnya. Dan, alasan lain adalah dapat menikmati senja sembari menuliskan rangkaian kata di sini. Jikalau beruntung, bisa juga menjumpai pelangi. Haha, mungkin ini terdengar sedikit klise.

Kucoba tersenyum untuk melupakan kejadian tadi siang. Lalu mengambil radio tua yang kusimpan di sana, untung saja masih bisa dipakai. Tak lama, lagu barat tahun sembilan puluhan mengalun. Iya, walau kurang jelas untuk kudengar, tetapi ini sudah lebih dari cukup.

Otakku berpikir dengan tangan yang mulai bergerak-gerak pada buku bersampulkan hitam lusuh.

Memalarkan Sebagai Senja.

Bolehkah aku sepertinya? Berwarna dengan elok dan menyenangkan untuk dipandang.

Juga berkunjung, kemudian pergi bersama dengan Sang baskara. Terlihat romantis, 'kan? Datang dijemput kemudian pulang bersama.

Namun, realitanya hanya mampu duduk termenung di atas sini dengan ditemani pena juga secarik kertas sembari sesekali menatap cakrawala, lantas berusaha untuk menarik senyum.

Tetapi, aku yakin bahwa sepilu apapun luka pasti akan ada epilog yang indah. Karena semua hanyalah perihal waktu.

Hm, kurasa cukup sampai di sini. Sebab, awan sudah mulai menggelap. Aku memandang jam di tangan yang ternyata sudah menunjukan hampir pukul enam sore.

Cepat-cepat kumasukkan buku itu ke dalam tas. Namun, aktivitasku seketika terhenti ketika mendapati laki-laki jangkung dengan seragam yang dibaluti jaket. Terlihat jelas jika ia sedang memotret senja melalui kamera DSLR-nya.

Aku berlagak tak melihatnya saat pandangan kami tiba-tiba bertumbuk selama beberapa detik.

"Kamu lagi ngapain di sana?" Kira-kira kalimat itulah yang dapat kubaca melalui gerak bibirnya. Sebenarnya tidak tahu pasti karena jarak yang terlalu jauh, juga cahaya yang mulai meredup.

Tak kuindahkan pertanyaan itu dan kembali melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda, lalu turun setelahnya.

"Kenapa diem aja? Kamu nggak marah, kan? Ah, kita aja baru kenal hari ini gimana bisa kamu marah?" Ia terkekeh pelan. Sedangkan aku menatapnya sembari menggerakkan kedua tangan di udara.

"Oh, maaf. Aku sama sekali nggak tau," jawabnya yang juga dengan bahasa Isyarat, membuatku sedikit terkejut. Laki-laki itu tersenyum canggung sembari menggaruk tengkuknya.

"Kamu pandai bahasa Isyarat juga?"

Ia menggeleng. "Cuma sedikit, karena tanganku masih agak kaku kalau memperagakannya. Tapi, lumayan paham sih." Aku mengangguk, lalu meraih sepedaku dan hendak menaikinya.

Prak!

Ah, sial. Kenapa sepedanya harus bermasalah di saat situasi seperti ini? Aku harus pulang karena sebentar lagi hujan akan turun.

Jangan lupakan tentang aku yang sekarang membenci hujan, ya! Bukan, lebih tepatnya hanya tidak suka berada di bawah air yang jatuh dengan bersamaan itu.

"Kenapa? Rusak, ya?" Belum sempat kujawab, ia mengambil alih sepeda itu—memperhatikannya—membuat tubuhku mundur beberapa langkah. "Rantainya patah nih, harus dibenerin di bengkel dulu." Tubuhku mendadak lesu.

"Aku tau salah satu bengkel daerah sini. Apa kamu mau benerin sepedanya sekarang?" Raut mukaku berubah senang, lalu mengangguk. "Ya udah, sini biar kubawa." Mataku melebar, dengan cepat aku menahannya kemudian menggeleng. "Udah, nggak apa-apa."

Huh, ternyata dia keras kepala juga, toh.

Terjadi kecanggungan di sepanjang jalan. Kami bahkan sama sekali tidak berbicara—em, maksudku dia.

Lihat selengkapnya