"BULAN!" teriak bunda sembari berjalan mendekat. Aku yang sedang makan seketika tersedak karena terkejut dengan suaranya.
Tanganku bergerak mengambil segelas air putih di meja, kemudian meneguknya. "Nak, ada laki-laki tampan di luar. Katanya dia cari kamu." Dahiku berkerut. "Sudah, ayo ke sana!" Wanita paruh baya itu menarik lenganku hingga tergopoh-gopoh mengikutinya.
"Lihat, tampan sekali, 'kan?" bisiknya sembari menggoda. Aku mengkode untuk tidak berbicara. Laki-laki tersebut tersenyum ke arah bunda dan juga aku.
"Mau bareng?" tawar Aysel. Aku menatap bunda sekilas, lalu menggeleng.
Perempuan senja itu melongo, lantas berdeham setelahnya. "Maksud Bulan, iya. Tadi ada semut di kepalanya, makanya dia menggeleng." Alisku tersentak bersama-sama. "Udah sana!" bisiknya lagi, setelah itu mendorongku pelan ke arah Aysel.
"Kalau gitu kita pergi dulu, Tante," pamit laki-laki itu setelah menyalami tangan bunda.
"Panggil Bunda aja." Aku diam-diam dapat melihat raut muka Aysel yang sedikit terkejut.
"I-iya, Bunda." Kemudian, Aysel berjalan terlebih dahulu menuju kendaraan roda duanya. Sedangkan aku pamit pada wanita itu. Ia menggodaku sebentar dan masuk ke rumah karena kusuruh.
"Ayo naik, Lan!" Aku bergeming. "Kenapa?" tanyanya.
"Kenapa kamu menjemputku?"
"Karena ingin."
"Selain itu?"
"Udahlah, ayo naik." Kali ini aku menolak permintaannya.
"Aku naik sepeda saja," tolakku.
"Nggak ada niat buruk, cuma pengen ngajak berangkat bareng. Memangnya ada yang salah?"
"Tapi aku tidak bisa."
Aysel menghembuskan napas pelan. "Iya, tapi kenapa, Bulan?" Kini, dia yang balik bertanya.
"Aku takut nanti kamu jadi ikut dibenci oleh teman-temanmu karena dekat denganku."
"Karena itu?" Aysel menarik pergelangan tanganku hingga menepis sedikit jarak di antara kita. "Jangan dipikirin. Aku nggak peduli kalau mereka ngejauh, asal bukan kamu," ucapnya yang mampu membuatku terkesiap.
Apa tadi katanya?
"Ayo naik!" Rasanya benar-benar ingin menolak, tetapi saat menatap wajahya membuat niatku urung. Dengan perlahan, aku menaiki motor bebek berwarna hitam itu.
Ah, jika kalian mengira ia memakai motor ninja dengan jok tinggi atau malah mobil Lamborghini seperti di cerita-cerita novel lainnya, maka kalian sangat salah besar.
"Udah?" Dia menatapku lewat kaca spion. Aku mengangguk.
Tiba-tiba, dapat kurasakan sesuatu di tangan. "Pegangan, ya!" Lengan kekarnya menuntun tanganku untuk melingkar pada perutnya yang dibaluti jaket. Buru-buru aku menarik tanganku darinya, takut jika nanti ada yang melihat dan salah paham.
Aku memukul-mukul pundak Aysel saat kami sudah sampai di tempat yang tak jauh dari area sekolah.
"Ada apa?" tanya anak laki-laki itu setelah menghentikan motor, kemudian aku turun. "Loh, kok turun?" Ia mengernyitkan dahi.
"Aku di sini saja, sudah dekat kok. Terimakasih." Bibirku bergerak membentuk lengkungan kecil yang mungkin terlihat dipaksakan.
Ia berdecak sebelum menghela napas panjang. "Beneran nggak mau dianter sampai sekolah aja?" Dengan cepat aku mengangguk. "Dasar keras kepala," sindirnya yang membuatku menampilkan deretan gigi.
Saat di koridor,Ā tatapanku tertuju pada Satya dan teman-temannya yang tengah memalak adik kelas. Mereka adalah geng di sekolah ini yang ditakuti oleh banyak murid.
Kutahan lengannya yang hampir saja memukul muka adik kelas itu. Satya menatapku tajam, kemudian menarik tangannya kasar.
"Apa-apaan sih lo! Mau sok jadi pahlawan kesiangan?" Aku terdiam dengan mata yang terus menatap sorot tajam itu. "Lo bukannya si cewek tuli di kelas sebelah, ya?" Ia memicing dan mencoba untuk mengingat-ingat.
"Iya, dia emang cewek tuli yang sekelas sama gue," sahut Yuna di belakangnya.
"Haha, tuli aja sok mau jadi pahlawan." Satya tertawa, kemudian tersenyum miring. Jari jemariku lalu menari di udara.
"Si bisu ngomong apaan?"
"Pengen boker kayaknya."
Tanganku mengepalāpercuma saja aku meladeni karena mereka tak akan mengerti. Kutarik lengan adik kelas itu dan membawanya pergi. Namun, langkahku tertahan kala seseorang menarik lengannya. "Mau ke mana lo? Enak aja main ngajak pergi!"