KUBUKA mata dengan perlahan ketika merasakan sesuatu di tangan. Badan yang semula terasa sakit, kini berkurang saat menatap Bunda tengah tertidur pulas dengan kepala yang ia sandarkan di kasur, dan salah satu tangannya menggenggam jari-jariku.
Kucoba untuk bergerak sedikit—membenarkan posisi—agar bagian tubuh yang terluka tidak begitu terasa nyeri.
Wanita paruh baya itu bergerak kecil karena aktivitasku. Tak lama setelah itu dia tersadar. Aku sedikit terkejut saat mendapati matanya yang sembab.
Ia kemudian bersuara. Aku terdiam karena tak mendengar ucapan yang dikatakannya. Dengan cepat, Bunda berjalan mencari sesuatu, lalu mendekatiku dan memasangkan hearing aid yang terlepas entah sejak kapan.
"Apa lukanya masih sakit?" Kepalaku menggeleng pelan. Aku berbohong. Bagaimana mungkin luka parah seperti ini tidak terasa sakit, itu mustahil.
Beberapa detik kemudian, matanya berkaca-kaca. Tak tahu alasannya, yang pasti hatiku mendadak terasa sakit ketika melihat itu.
"Maafin, Bunda." Setelah mengucapkan dua kata itu, Bunda menangis. Wajahnya ditutupi dengan kedua tangan. Isakannya bahkan terdengar begitu nyaring. "Maafin Bunda," ujarnya lagi, "ini semua salah Bunda!"
Perlahan, kusentuh tangan kasar wanita itu dan menggenggamnya. Aku menggeleng, lalu mencoba untuk tersenyum.
"Jelas-jelas, ini salah Bunda. Coba saja jika Bunda tidak menyuruhmu untuk mengantarkan kopi saat itu, pasti tidak akan begini jadinya. Bunda benar-benar bodoh."
Ingin sekali rasanya aku menangis. Mataku kini sudah berkaca-kaca. Namun, mati-matian aku menahannya agar air itu tak jatuh karena tidak ingin membuatnya semakin merasa bersalah.
"Ini bukan salah Bunda. Ini semua salah Bulan yang sudah membuat laptop dan berkas Ayah menjadi rusak dan kotor." Wanita itu menggeleng kukuh.
"Tetap saja ini salah Bunda!" ujarnya. "Tolong maafkan Bundamu ini," sambil berdiri dan memelukku dengan posisi aku yang berbaring.
Aku terdiam, masih belum mampu membalas pelukannya karena luka yang masih terasa nyeri. Tanpa kusadari, air mata ini mengalir begitu saja ketika tangisannya yang terdengar sangat menyayat hati.
🌑🌑🌑
Langkahku membawa pergi menuju rumah pohon. Sebenarnya, Bunda tidak memberi izin untuk ke sini karena aku belum benar-benar pulih. Namun, bukan Rembulan namanya jika menyerah begitu saja.
Tak terasa, sudah seminggu hanya berdiam diri di rumah. Tidak sekolah, ke rumah pohon, ke mana-mana, dan yang terakhir tidak bertemu dengan lelaki yang dua bulan ini selalu menemaniku.
Perlahan, aku mencoba untuk menaiki tangga di rumah kedua itu. Ternyata dalamnya masih sama. Ada novel, sajak, dan lukisanku yang terpajang di sana. Seketika muncul beberapa pertanyaan—ah, mungkin banyak pertanyaan—tentang lelaki itu.
Tentang siapa dia, dari mana asalnya, mengapa mau berteman dengan perempuan sepertiku, dan terakhir tentang surat yang diberikan sewaktu dirinya menjadi murid baru. Apa dia sudah memprediksi akan sekelas denganku? Ingin sekali kutanyakan itu semua. Akan tetapi, aku takut kehilangannya. Iya, takut jika dia malah menjauh dariku nantinya karena merasa risih atau tidak suka.
Aku tersenyum miris.
Memangnya, mengapa harus takut jika dia menjauh? Toh, dari awal sebelum dia datang pun aku memang sudah sendirian, 'kan?
Menghela napas, kemudian duduk di pinggir rumah pohon, memandangi burung yang berombongan ke sana-ke mari dengan kicauan yang menyertai.
Apakah aku harus seperti burung agar mempunyai teman?
Mataku mendadak melebar kala melihat matahari yang hampir tenggelam hingga meninggalkan jingganya. Dengan cepat, kuraih ponsel kemudian memotretnya. Sudah lama tidak bertandang kemari hanya sekedar menyaksikan senja. Rindu sekali rasanya.
Pergerakanku terhenti saat muncul sosok jangkung di layar ponsel yang ikut berfoto. Ia bergaya dengan menampilkan senyum kotak yang begitu lucu. Dengan cepat, kepalaku menggeleng.
"Kenapa baru ke sini? Aku tadi ke rumahmu lho, tapi kata Bunda kamu ada di sini," tanyanya yang membuatku terkejut setengah mati karena tahu-tahu sudah berada di samping.
Aku mengaduh tanpa suara ketika anak laki-laki itu memukul bahuku pelan. Kututupi wajah dengan tangan, berharap dia tak melihat luka di sana, kemudian menggeleng.
"Ya ampun, tanganmu kenapa, Lan?" Aku terkejut dengan pertanyaannya. Dan bodohnya, malah menutupi lengan kemudian menatapnya hingga ia dapat melihat luka di wajah yang lumayan sudah membaik. Lelaki itu menganga tak percaya.
Karena bingung harus bagaimana, kuputuskan untuk turun dan menuntun sepedaku pergi.
"Tolong jelasin sama aku, sebenarnya kamu kenapa? Siapa yang bikin kamu jadi kayak gitu? Dan, kenapa seminggu ini nggak pernah ke sekolah?" Aysel menahan sepedaku dan melempari banyak pertanyaan hingga membuatku urung untuk pergi.
Wajahku berpaling, tidak ingin menatapnya yang melempari tatapan tak tega atau malah iba, aku pun tak tahu.
"Lan," panggilnya, "ada apa sebenarnya? Kamu bahkan cuma baca pesan aku dan selalu nolak saat setiap kali kutelepon."
Aku melepaskan sepeda itu hingga terjatuh begitu saja. Kemudian menghambur untuk memeluknya hingga melupakan rasa sakit yang masih terasa perih. Air mataku merebak hingga aku tersengut-sengut di pelukannya. Dapat kurasakan tangannya yang membelai rambutku pelan.
Ah entahlah, sudah berapa lama kami melakukan adegan dramatis seperti ini yang malah membuatku jadi malu sendiri. Kemudian, kulepaskan pelukan itu, lalu menghapus bulir air mata yang masih mengalir dan bergerak untuk menaiki sepeda.
"Biar aku bonceng." Aysel merebut sepeda itu hingga membuatku berjalan mundur beberapa langkah. Kemudian, aku duduk di jok belakang. Setelah itu, Aysel mulai menggowes sepedanya.
"Tau nggak, kalau setiap hari aku datang ke rumah kamu?" Alisku terangkat, masih diam menyimak. Jadi, hampir setiap hari dia datang ke rumah? "Tapi sayangnya bundamu selalu bilang kalau kamu nggak ada. Kamu bahkan nggak pernah bisa buat dihubungi." Aysel menghela napas panjang. "Aku benar-benar kangen, Lan," lirihnya yang masih bisa kudengar.