SUDAH hampir seminggu aku di sini—rumah sakit—karena kejadian tempo lalu. Jujur saja, aku benar-benar tidak menyangka dengan Aysel yang sebegitu marahnya pada Satya.
Sekarang, aku sedang di taman dan duduk di kursi roda—menyaksikan orang-orang yang sedang sakit, namun terlihat begitu bahagia karena Aysel yang tengah menyayikan lagu untuk mereka.
Jari-jarinya terlihat begitu lihai saat memetik gitar. Aku bahkan baru tahu jikalau dirinya ternyata pandai memainkan benda itu. Lirik lagu yang disenandungkan dengan suara beratnya membuat hatiku merasa tenang ketika mendengar. Aku memejamkan mata, menikmati. Perlahan, air mataku meleleh.
Tak henti-henti aku bersyukur dengan kehadirannya yang tiba-tiba menelusup masuk dalam hidupku tanpa diduga sebelumnya. Kemudian, melengkapi kekurangan ini.
Dia malaikatku sekarang! Dia malaikat bumiku setelah kedua orang tuaku. Entah mengapa, semakin lama bersama malah semakin membuatku takut untuk kehilangan. Takut jika tiba-tiba Tuhan memisahkan kami nantinya.
Sambil terpejam, tanganku bergerak pelan untuk mengusap kalung yang diberikannya kemarin. Ah iya, aku sampai lupa menceritakan. Katanya, ini kalung spesial yang dirancang untukku dan tidak ada yang punya. Sungguh, berlebihan sekali laki-laki itu.
Aku membuka mata, mengusap air yang jatuh. Kemudian, mengambil kertas dan pena dari Aysel tadi.
Tentang cerita.
Kali ini, bukan cerita tentang hujan yang meninggalkan pelanginya. Bukan juga tentang baskara yang menyisakan jingganya.
Ini tentang aku, si gadis cacat yang menemukan pelengkap. Ah bukan, lebih tepatnya seseorang yang tanpa kuduga muncul begitu saja.
Dia, lelaki unik yang kujumpai beberapa waktu lalu. Tiba-tiba datang dengan membawa kejutan dan banyak warna, layaknya hujan yang memberi pelangi sesudahnya.
Entah mengapa, nyaman selalu menyelimuti saat di dekatnya. Membuatku jadi menginginkan untuk tetap bersama.
Tidak ada yang boleh mengambil apalagi memiliki. Maaf, jika sudah bertidak egois kali ini.
"Hey!" seru seseorang membuatku terlonjak. Mendengus, kemudian mencubit lengan orang itu. Ia tertawa.
"Sudah?"
"Udah dong. Kamu nggak merhatiin, ya?"
Mataku melotot. "Aku memperhatikan, kok!"
"Bohong, buktinya nggak sadar aku di sini!" Aku mencibir. Namun, dengan tidak sopannya Aysel malah menarik bibirku.
"Sakit, tahu!"
"Siapa suruh manyun-manyun gitu. Kan, jadi gemes!" Pandangannya kemudian beralih pada kertas di tanganku. "Itu apa?" Aku menyembunyikan benda itu di balik punggung sebelum dia berhasil menggapainya, lalu menggeleng.
"Bukan apa-apa, kok!" Mata Aysel memicing.
"Kalau bukan apa-apa, kenapa aku nggak boleh lihat?" Laki-laki itu berusaha mengambil kertas tersebut. Dengan cepat, aku menggerakkannya agar tak dapat digapai. Sialnya, pergerakan Aysel malah mendadak terhenti dengan posisi yang begitu dekat. Pandanganku dengannya hanya terpaut beberapa senti yang membuatku seketika membeku.
Kepala Aysel bahkan semakin lama semakin mendekat hingga mengikis jarak di antara kami. Mataku terpejam, merasakan napasnya yang begitu hangat menerpa wajah.
"Yey, dapet!" pekik laki-laki tersebut, membuatku langsung membuka mata. Betapa terkejutnya aku saat melihat kertas itu beralih pada tangannya. Aku berusaha mengambil. Bukan apa-apa, hanya takut jika lelaki itu sampai mengetahui isinya, mau ditaruh di mana muka ini.
"Hei!" sapa seseorang tiba-tiba. "Keadaan kamu gimana, Lan?" Aysel menoleh menatapnya. Dengan cepat, kurebut kertas di tangannya itu.
Dia terkejut kemudian mendengus. "Ngapain lo ke sini?" Ia melempari Grisel dengan tatapan tidak suka. Aku mencubitnya. "Iya-iya," katanya sambil memutar bola mata.
Tanganku bergerak-gerak di udara, menyampaikan jika aku baik-baik saja. Namun, Grisel hanya mengangkat alis karena tidak mengerti.
"Katanya, dia nggak apa-apa!" Itu Aysel yang bersuara. "Kita duluan." Laki-laki itu sekonyong-konyong mendorong kursi rodaku pergi. Akan tetapi, mendadak pergerakannya terhenti saat gadis itu memegang lengannya. Ia menepis tangan Grisel kasar hingga gadis itu tersentak.
"Kita perlu ngobrol sebentar." Kira-kira, kalimat itu yang dapat kudengar. Aysel tidak mengindahkannya dan tetap mendorong kursi rodaku menjauh.
Kami sampai di ruanganku. Kemudian, Aysel menuntunku untuk berbaring di brankar. Lalu, mengelus puncak kepalaku lembut. Bagaimana bisa jantungku tidak berdebar jika diperlakukan seperti ini manisnya?
"Tidur," ujarnya dengan senyum tipis yang mengembang. Sesudah itu, lelaki itu melangkah untuk pergi. Segera aku menggayuk¹ lengannya hingga membuat langkah Aysel terhenti. Ia menatap ke arahku.