"SEKALI lagi, saya ulangi bahwa minggu depan akan mulai ada ulangan tryout," ujar Pak Jho. "Ingat, jangan lupa belajar!"
"Iya, Pak," sahut satu kelas dengan bersamaan.
"Sekarang kalian diperbolehkan untuk pulang." Setelah memberi komado, lelaki tampan dengan kacamata itu berjalan keluar.
"Rembulan!" Aku yang sedang membereskan alat tulis mendongak ketika seseorang memanggil namaku. "Gimana kalau besok kita belajar bareng?" tanyanya membuat alisku sedikit terangkat.
Apa katanya? Aku? Gadis cantik sepertinya mau mengajakku untuk belajar bersama?
Apa ini mimpi?
"Hey!" Grisel melambaikan tangan di depan wajahku. "Kok ngelamun?" Aku tersentak dan dengan cepat mengangguk.
"Kira-kira, mau dimulai kapan?" Baru saja ingin kujawab, tiba-tiba seseorang menarik lenganku.
"Kita balik dulu," interupsi Aysel dengan nada yang bisa dibilang dingin. Grisel tersenyum, lalu melambaikan tangannya.
"Hati-hati, ya." Itulah kalimat terakhir yang kudengar dari gadis tersebut sebelum kami menuju parkiran.
Aku menepis tangan Aysel. "Kenapa?" tanya lelaki itu.
"Kenapa? Harusnya aku yang mengatakan itu padamu."
Ia memutar bola matanya dan menghela napas pelan. "Jangan deket-deket sama dia." Aku semakin tidak mengerti. Banyak sekali pertanyaan 'kenapa' yang muncul di kepalaku. "Sekarang kita pulang." Kulangkahkan kaki mundur saat dirinya hendak menggapai tanganku, kemudian menggeleng.
"Aku bisa pulang sendiri!" tolakku.
"Aku anter." Kepalaku menggeleng lagi, "Yakin mau nolak?" tantangnya.
Aku mengangguk mantap. Memangnya kenapa tidak yakin? "Aku punya kejutan lho buat kamu."
K-kejutan? Kejutan apalagi yang akan dia berikan?
"Apa?" Ia menampilkan senyum kotaknya yang terlihat begitu terlihat lucu.
"Nanti kamu juga tau." Aku masih bergeming. "Ayo naik!"
"Lalu bagaimana dengan sepedaku?" tanyaku mengenai nasib sepeda itu.
"Nanti sepedanya bakal ada di rumah kamu."
"Kok bisa?"
"Karena kusuruh."
"Tidak mungkin, kamu pasti bercanda."
"Nggak akan hilang, kok. Percaya deh."
"Aku tidak mau tahu, jika nanti sepedaku hilang, kamu harus menggantinya sepuluh kali lipat!"
"Sepuluh kali lipat?" Kepalaku mengangguk. "Jangankan mengganti dengan sepuluh kali lipat, mengganti dengan hatiku aja aku siap kok."
Aku mencibir, lalu mencubiti lengan kekarnya hingga membuat lelaki itu mengaduh dan tertawa. "Ayo naik, Tuan Putri!" Mendengus kecil lantas menaiki motor bebeknya itu.
Tak lama kemudian, kami sampai di tempat yang dikatakannya sebagai kejutan. Sungguh, ini benar-benar kejutan bagiku. Sudah lama sekali rasanya tidak pergi ke sini.
"Biasa aja dong, jangan melotot gitu," sambil mengusap wajahku. Kemudian, menggapai tanganku. "Ayo masuk." Aku mengangguk.
"Omong-omong, kenapa kamu mengajakku ke mari?" tanyaku saat kami baru saja masuk dan memilih-milih buku.
"Kan, bentar lagi mau ulangan. Jadi aku mau beli beberapa buku buat kita belajar bareng."
"Kapan?"
"Gimana kalau besok? Hari ini kita puas-puasin aja buat baca buku." Aku mengangguk setuju dan berjalan untuk melihat-lihat buku yang berjajar di sana, sedangkan Aysel mencari buku untuk besok kita belajar bersama.
Ada buku kesukaanku, karya tulis dari Enid Blyton yang berjudul Pasukan Mau Tahu dengan seri Misteri Pondok Terbakar. Sungguh, aku sangat menyukai karya-karyanya. Bahkan, sampai mengoleksi hampir semua novelnya di rumah. Terakhir kali yang kubaca adalah Lima Sekawan.
Aku berjalan mendekat ke arah buku tersebut, lalu meraihnya. Membaca bagian cover saja sudah membuatku ingin membawanya pulang. Huh, sayang sekali tadi hanya diberi uang jajan sedikit. Itu pun Bunda yang memberi.
"Bulan!" Atensiku beralih menatap seseorang yang baru saja menyeru. "Duduk sini," kata Aysel. Dia ternyata sudah lebih dulu duduk dengan beberapa buku. Aku berjalan mendekat dengan mata yang terus tertuju pada novel di tangan tanpa memandang jalan.
Byur!
Ah sial, karena kecerobohanku, tanpa sengaja aku menabrak seseorang yang sedang membawa minuman. Minuman yang digenggamnya itu basah mengenai bajuku dan juga ... novel itu ....
Duh, bagaimana ini? Tak masalah jika baju yang basah, tetapi tidak dengan novel itu, aku tak punya uang untuk mengganti rugi.
Orang itu berdecak, "Kalau jalan pake mata dong, ah, gimana sih!" sungutnya yang membuatku hanya mampu menunduk. "Untung nggak kena baju. Mahal nih, lo nggak akan bisa ganti rugi, tau!" Aku masih bergeming. "Ih, diem mulu dari tadi, bukannya minta maaf. Bisu ya, lo!"