INI adalah hari pertama kami mengadakan belajar bersama. Ada Grisel juga di sini, sesuai janjiku kemarin jika aku akan mengajaknya belajar bersama. Sepertinya, ini kali pertama untuk gadis itu datang ke tempat seperti ini.
"Wah, lucu banget, deh. Ada danaunya juga!" pekiknya.
"Kampungan banget sih!" celetuk Aysel yang berhasil membuatnya mendengus.
"Gue kan, nggak pernah main ke tempat kayak gini!" sahut perempuan itu tak terima.
"Makanya, jangan main di Mall mulu!"
"Terserah dong!"
Aku menghela napas, kemudian menaiki tangga dan meninggalkan mereka yang tengah berdebat. Sempat heran mengapa mereka bisa seperti itu. Karena setahuku, bertemu saja baru tetapi mengapa seperti—ah, sudahlah.
"Berisik, gue mau ke atas!"
"Ikut!" Gadis itu mengikut ke atas dan sempat kesal karena tidak bisa menaiki tangga kayu. "Itu kamu yang buat, Lan?" Tatapan takjub dilemparkan ketika memandang lukisan di dinding. "Kamu jago gambar juga ternyata."
Aku menggeleng dan menunjuk laki-laki yang sedang asyik dengan ponselnya.
"Aysel?" Kepalaku mengangguk, gadis itu kemudian menatap kearahnya.
"Apa lo liat-liat?" sinis Aysel tanpa mengalihkan pandangan.
"Itu foto kalian berdua?" tunjuknya pada pigura berukuran tidak terlalu besar. Ah iya, aku bahkan baru ingat jika lelaki itu juga mencetak foto pertama kami.
"Kepo banget sih lo, kayak Dora! Kalau mau ngewawancara mending balik aja sono! Lagian, kita mau belajar buat tryout, bukan belajar buat wawancara," ketusnya, aku memukul lengan Aysel yang berbicara dengan nada tak enak didengar itu.
"Tidak boleh begitu!" peringatku.
"Habisnya, cerewet banget!" Grisel mencibir kesal.
"Ya sudah, kita mulai saja belajarnya, ya," leraiku, lalu mengeluarkan buku yang kemarin aku dan Aysel beli. Kami mulai belajar dengan mengisi soal-soal matematika untuk ujian besok.
"Buset, otak kentangku bergetar," lirih Aysel yang masih dapat kudengar.
Aku menggerakkan kedua tangan. "Ada yang tidak kamu mengerti?"
"Ini gimana, deh? Masa ini tambah ini sama dengan nol? Kan, kalau aku tambah kamu sama dengan kita." Aku memutar bola mata malas.
Ck, recehan macam apa itu. Basi sekali.
Dia menjawil hidungku. "Ya udah maaf, ini dong tolong jelasin."
Kutatap soal itu, lalu mulai menjelaskannya. TTernyata, Aysel pintar juga, hanya sekali dijelaskan saja sudah langsung paham. Tak sengaja aku mendapati Grisel yang seperti—entahlah, dia seperti sedang dalam mood yang buruk.
"Ada apa?" tanyaku yang kutulis di kertas.
Gadis itu tersenyum canggung. "Ah, nggak apa-apa, kok." Aku mengangguk. "Kayaknya, aku mau pulang aja deh."
"Lho, kenapa?"
"Aku lupa hari ini ada janji sama Mayra juga Christi."
"Begitu ya?"
Ia mengangguk. "Kalau gitu aku duluan ya," pamitnya.
Aku tersenyum kecil dan melambaikan tangan padanya. Namun, sebelum gadis itu benar-benar pergi, dapat kulihat jika Grisel menatap Aysel sebentar yang bahkan seperti menganggapnya tidak ada.
Ada apa? Apa ada sesuatu yang tak kuketahui?
Sudahlah, lebih baik aku kembali fokus saja. Lagian, jika memang benar begitu, tetap saja bukan urusanku, kan? Tidak mungkin juga aku ikut campur.
Hampir sekitar dua jam sepertinya kami belajar. Melelahkan juga, hingga membuat kepalaku terasa pening. Soal-soal yang dituliskan di sini ternyata berbahaya. Bisa membuat orang menjadi frustasi, atau malah melakukan bunuh diri? Haha, aku bercanda.
Aku meregangkan otot-otot, betapa terkejutnya ketika melihat Aysel yang tertidur dengan kepala yang disandarkan pada meja kecil dan bertumpu pada satu tangan. Sedangkan, tangan lainnya digunakan untuk memeluk tas.
Sepertinya, saat tidur, Aysel harus memeluk sesuatu agar dapat terlelap dengan nyaman. Pantas saja sedari tadi dia bergeming dan tidak menggangguku.
Kemudian, aku memiringkan kepala dan menjatuhkannya di meja. Menatap wajah damai laki-laki itu. Entah hanya perasaanku saja atau memang nyata, tetapi Aysel terlihat lebih tampan berkali lipat saat tidur. Dengan segaris mata, hidung mancung, dan bibir tipisnya yang sedikit memanyun.