Rembulan Maheswari

Dee🍓
Chapter #9

8. Stay away?

HARI ini, aku datang sendiri menuju rumah pohon. Kebetulan ini hari minggu. Jadi, kami sedang tidak sekolah. Ah, lagian siapa juga yang akan mengadakan belajar mengajar di hari libur seperti ini? Mungkin saja ada. Aku pernah mendengarnya.

Tanganku bergerak menutup rantang yang hendak kubawa untuk makan kami—aku, Aysel, dan juga Grisel—bersama nanti.

Ada banyak macam makanan di dalam rantang berwarna merah muda itu. Kebetulan, di rumah sedang tidak ada siapa-siapa. Ayah, Bunda, dan Zera sedang pergi untuk merayakan ulang tahun gadis itu. Aku tidak diperbolehkan ikut, karena katanya takut mempermalukan di sana. Ya, semenyedihkan itu hidupku.

Kemudian, langkahku membawa keluar rumah untuk mengambil sepeda, lalu menggowesnya menuju rumah pohon. Garis di bibirku terangkat ketika semilir angin menerpa wajah.

Apakah kalian ingat saat malam itu?

Entah perasaanku saja atau bagaimana, namun setelah malam itu aku merasa semakin dekat dengan Aysel.

Tentangnya, apa kalian tahu jika Aysel terlihat semakin hari semakin tampan? Dia memang sudah tampan sejak baru lahir. Akan tetapi, sekarang semakin bertambah kali lipat, membuat jantungku selalu berdebar saat berada di dekatnya.

Awalnya, aku menyangkal perasaan ini. Namun, dengan seiring waktu berjalan, aku membenarkan. Entahlah, aku sendiri pun masih bingung dengan rasa ini yang hanya sebatas kagum atau lebih dari itu.

Aku selalu meyakinkan diri untuk tidak memiliki perasaan tersebut. Namun, apakah ada hubungan antara laki-laki dan perempuan yang hanya sekedar sahabat?

Menurutku, itu mustahil.

Mana mungkin ada yang seperti itu. Pasti, akan ada yang memiliki perasaan di antara salah satunya. Entah itu perempuan atau malah sang laki-laki.

Setelah lama berkutat dengan pikiran, akhirnya aku sampai juga. Kemudian, meletakkan sepeda di sana. Pergerakanku terhenti kala melihat Grisel dan Aysel yang sedang berbicara di tepi danau. Aku menyaksikan mereka dari balik pohon besar.

"Aku masing sayang sama kamu, Arka!" suara Grisel.

"Sayang lo bilang? Sayang yang kayak gimana maksud lo? Bagian mana yang pantas disebut dengan kata sayang, hah?"

"Kamu kenapa jadi gini, sih? Kamu berubah, tau nggak!" Aku dapat melihat mata gadis itu yang berkaca-kaca.

Aysel tersenyum sinis. "Lo yang ngerubah gue kayak gini, Gri! Jadi nggak usah nanya kenapa gue berubah!"

"Aku nggak tau harus jelasin kayak gimana lagi ke kamu, kalo aku benar-benar nyesel! Kalau ak—" Ia tidak melanjutkan ucapannya dan langsung memeluk Aysel.

Sial, mengapa dadaku terasa begitu sesak saat menyaksikan adegan seperti itu. Rasanya oksigen mendadak hilang begitu saja. Baiklah, jika kalian mengatakan ini terlalu berlebihan. Namun, begitulah yang kurasakan sekarang.

PRANG!

Rantang berisi makanan yang kubawa tadi jatuh berserakan. Mataku mendadak tertutup saat melihat Grisel tiba-tiba mencium bibir lelaki yang—argh!

Aku membuka mata, menatap Aysel yang semula terkejut dengannya jadi semakin terkejut ketika aku menjatuhkan rantang itu. Ia menatap ke arahku dengan raut muka tidak karuan. Sedangkan Grisel seakan tuli dan tetap memeluknya.

Anak laki-laki itu mendorong tubuh Grisel kasar. Aku menggeleng tak percaya dan memilih berlari. Dapat kurasakan bahwa Aysel mengejarku.

Ah, aku tak tahu karena itu hanya dugaanku saja. Tidak peduli juga jika memang dirinya tidak mengejar. Memangnya, siapa aku yang sampai dikejar ketika sedang marah? Seharusnya, sejak awal kamu sadar, Rembulan.

Aku berlari sambil sesekali menghempaskan kasar air mata yang jatuh tanpa dikomando. Maaf, sudah bertingkah cengeng seperti ini.

Lagian, mengapa harus berlari dan menangis? Apa yang sebenarnya sedang kutangisi? Mengapa tadi aku tidak menghampiri mereka saja dan berkata dengan bahasa Isyaratku, "Ah, maaf sudah mengganggu waktunya," kemudian tersenyum canggung.

Sayangnya, aku memang tidak mampu untuk melakukan itu. Demi apapun, ini benar-benar menyakitkan. Rasanya, seperti terpanah oleh jutaan anak panah yang melesat tepat mengenai dada. Terlalu lebay memang.

Aku terus saja berlari meski dengan pandangan yang memburam akibat cairan bening itu meleleh di pelupuk mata. Samar-samar, kudengar suara Aysel yang terus memanggil namaku hingga membuat langkah kakiku semakin cepat.

Grep!

"Kenapa lari?" tanyanya yang baru saja berhasil menggayuk lenganku. Aku menghempaskannya.

Kenapa malah bertanya? Dia bodoh atau bagaimana?

"Aku mau pulang!"

"Katanya mau belajar bareng."

"Aku mau pulang!"

"Kok, pulang sih?"

"Aku mau pulang, Aysel!" kukuhku, kemudian berbalik dan pergi meninggalkannya yang terlihat kebingungan. Namun, laki-laki itu kembali menjangkau lenganku dan membawa tubuhku ke dalam dekapannya.

Tempat yang amat sangat kusukai, ditambah dengan aroma yang selalu menguar dari tubuhnya hingga mampu membuatku hanyut.

Tidak! Aku kan sedang marah, masa bisa luluh hanya karena sebuah pelukan. Kemudian, aku memukul-mukul dadanya—meronta—untuk dilepaskan. Namun, apalah dayaku, tentu saja aku kualahan karena tenaganya yang lebih kuat.

Dan bodohnya, aku malah semakin terisak ketika dirinya membelai pelan rambutku.

"Maaf, aku menyakitimu. Maaf, membuatmu menangis. Maaf, tidak dapat menepati janjiku untuk menjadi fajar yang membakar sedikit lukamu. Aku malah menambahnya."

Lihat selengkapnya