SUDAH sekitar satu minggu lebih aku menjauhi Aysel. Tidak bertegur sapa, tidak pernah berangkat bersama, dan tidak pernah ke rumah pohon. Itu sangat membuatku begitu tersiksa.
Ya, benar. Aku melakukan permintaan bodoh Grisel. Dan di waktu yang bersamaan, gadis itu terus mencoba mendekatinya.
"Tumben kamu baru dateng?" suara Aysel saat aku baru saja memasuki kelas.
"Lo kenapa sih mau-maunya deket sama orang kayak dia?" celetuk Daniel yang sedang duduk di bangkunya. Aku menatapnya sebentar dan beralih pada Aysel.
"Rembulan maksud lo?" Laki-laki itu berjalan mendekat ke arah Daniel dan duduk di kursi depannya. Sekedar informasi saja, jika tempat duduk kami sendiri-sendiri.
"Yaiyalah, siapa lagi!" sahutnya.
"Emang kenapa kalau gue deket sama dia?" Aysel mulai tersulut emosi.
"Lo nggak malu apa?"
Lelaki itu mengangkat salah satu alis sembari tersenyum miring. Itu yang dapat kulihat dari raut mukanya yang tengah menyampingiku.
"Malu? Malu gimana maksud lo?"
"Dia kan tuli, orang kayak dia nggak pantes ditemenin!" Aysel mengepalkan kedua tangan.
"Jaga ucapan lo atau—"
"Lah, gue kan ngomong jujur!"
Buagh!
"Anj*ng, lo apa-apaan sih!" bentak Daniel saat satu pukulan melayang tepat mengenai sudut bibirnya hingga berdarah.
Sungguh, aku sangat terkejut. Demi apapun, jantungku seketika berdetak tak karuan. Bahkan, bukan hanya aku saja, seisi kelas pun sudah menjadikan mereka sebagai bahan tontonan. Ada yang memvidiokan, menggunjing, dan mendukung salah satu dari mereka. Tidak ada yang berniat memisahkan dua insan yang sudah seperti akan membunuh satu sama lain.
"Harusnya gue yang nanya itu! LO APA-APAAN? Maksud lo apa, hah?" Aysel mencengkram kerah baju Daniel.
"Gue bicara secara fakta, lo nggak terima?"
"Iya, gue nggak terima! Emang kalau gue deket sama Rembulan, kenapa? Lo rugi?"
"Gue cuma ngasih tau doang, takut ntar lo malah ketularan tuli lagi!"
Ingin sekali aku memisahkan perkelahian mereka. Namun, aku benar-benar takut jika kejadian itu terulang kembali. Kejadian Aysel dengan Satya tempo lalu.
BUAGH!
BUGH!
Buru-buru aku berlari mencari siapapun yang bisa memisahkam mereka. Dan, kebetulan ada pak Jho di sana. Aku berusaha untuk memberitahu, tetapi sia-sia karena dia tidak mengerti bahasa Isyarat, kutarik lengannya menuju kelas.
Di dalam terlihat jika Aysel yang memimpin perkelahian. Lelaki itu menghajar Daniel hingga mengeluarkan banyak darah segar yang mengalir melewati hidung dan bibir.
Aku menatap ngeri—merinding—ketika melihatnya.
Pak Jho mengelengkan kepala.
"JAGA MULUT LO, NJ*NG!" berang Aysel yang terus saja mencengkram kerah baju Daniel. Namun, laki-laki dengan rambut sedikit keriting itu malah tersenyum mengejek.
"STOOOP!" Suara berat nan serak tersebut mampu membuat seisi kelas mengalihkan pandangan ke arahnya.
Pria setengah matang itu memandang dingin ke arah mereka berdua. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana berbahan satin.
"Kalian berdua ikut saya ke ruang BK!" datarnya. Aysel melepaskan kerah Daniel dengan kasar.
"Tapi, Pak—" Daniel angkat suara.
"Dia yang mulai duluan, Bang—" Tatapan heran terarah pada Aysel, termasuk aku. "Maksud gue Pak."
"Saya tidak mau tahu, sekarang ikut saya atau kalian akan tahu kensekuensinya nanti!" Pak Jho menghela napas dan berjalan terlebih dahulu.
Aysel mengelap sudut bibirnya yang sedikit robek hingga mengeluarkan darah. Mendengus kasar, kemudian berjalan mengikuti Daniel yang sudah mendahului untuk ke ruang BK. Namun, sebelum itu, dia menatap ke arahku sebentar hingga aku yang memutuskan pandangan kami.
🌙🌙🌙
Kedua tanganku membawa nampan dengan semangkuk bakso juga teh hangat. Lalu, berjalan mencari tempat duduk.