"BULAN, liat deh!" seru Aysel yang entah sejak kapan sedang memandang luar. Aku merangkak untuk mendekatinya. "Ada kamu." Alisku tertaut dengan tatapan yang terarah lurus. Lantas menujuk diri sendiri. "Iya, kamu.
"Bulan maksudmu?" Lelaki itu mengangguk lagi.
"Kamu nyadar nggak kalau arti nama aku itu sama kayak kamu?" Aku mengangguk.
"Iya, aku tahu itu." Ia tersenyum. Demi apapun, itu manis sekali hingga membuatku sedikit sulit untuk bernapas.
"Apa itu alasan semesta mempertemukan kita?" Pandanganku beralih padanya. "Karena ingin kita bersatu." Aku tersedak salivaku sendiri.
Ma-maksudnya bagaimana?
"Apa semesta bakal tersenyum kalau aku minta kamu jadi milikku?" Tolong, aku butuh inhaler sekarang. Maaf berlebihan, tetapi memang begitu kenyataannya.
"Aku tidak pantas untukmu, kamu terlalu sempurna untuk gadis cacat sepertiku." Aysel menghela napas tidak suka.
"Tapi kamu punya hati yang baik."
"Sungguh, aku tidak tahu kamu berasal dari mana, bagaimana latar belakangmu, apa alasanmu mau berteman denganku, aku tidak tahu itu semua. Akan tetapi, aku hanya ingin kamu selalu denganku dan jangan pernah untuk pergi."
"Aku nggak akan ninggalin kamu."
"Entah mengapa, aku selalu merasa kamu akan pergi. Aku takut jika itu terjadi."
"Aku akan menjadi fajar untukmu, bukan senja yang selalu kau tunggu," ujarnya, yang membuatku serius menatap setiap gerak bibirnya. "Meski dingin mencekam dan tak memiliki pesona, namun dia akan tergantikan dengan mentari yang menyinari dan menghangatkan sedikit hidupmu. Bukan senja yang menorehkan rasa pilu dan duka karena pesona serta pamornya akan lenyap ditelan gelapnya malam."
Perlahan, air mataku terjatuh ketika mengingat kalimat itu dari bibirnya. Mengingat betapa indah senyum, sikap, dan caranya membuat kejutan untukku.
Aku sedang duduk di rumah pohon sembari memandangi langit yang ditaburi ribuan bintang. Menghembuskan napas panjang kemudian menikmati semilir angin yang menerpa wajah.
Maaf, lagi-lagi diriku membuat kesalahan hingga sangat fatal. Aku mengusap air mataku, kemudian mengambil ponsel dan membuka galeriāmelihat-lihat fotoku dengannya tempo lalu.
Dadaku tiba-tiba terasa sesak begitu saja. Demi apapun, aku tidak tahu dari mana dirinya berasal, bagaimana latar belakang kehidupannya. Bahkan, aku sangat terkejut saat mengetahui Pak Jho adalah kakaknya. Pantas saja, anak laki-laki itu tadi sempat tidak sengaja mengucapkan kata "Bang" padanya.
Mereka berdua memang sama-sama tampan, sama-sama keren, dan sama-sama baik. Mereka tidak pernah memilih-milih dengan siapa harus berteman. Dan yang paling penting adalah, mereka berdua selalu memanusiakan manusia.
Omong-omong, tadi kami sudah bertukar nomor ponsel. Katanya untuk menghubungiku saat Aysel sadar nanti.
Sebenarnya, aku sangat ingin sekali menunggu Aysel di sana. Menunggunya hingga lelaki itu membuka mata. Sayangnya, Pak Jho menyuruhku untuk pulang. Ia bahkan sempat ingin mengantarkanku sampai rumah, namun aku tak mau merepotkan. Lagian juga sedang tidak dalam mood yang baik untuk pulang.
ššš
Kakiku berlari secepat mungkin ketika di lorongĀ rumah sakit. Panik, cemas, dan bahagia setengah mati menyelimuti perasaanku.
Aku menggebrak pintu dengan sekuat tenaga saat baru sampai di ruangan Aysel, membuat anak laki-laki itu terperanjat dan menatapku dengan raut wajah terkejut.
Menatapnya sebentar di ambang pintu, kemudian menghambur memeluknya yang sedang duduk bersandar pada hospital bed. Air mataku tiba-tiba meleleh begitu saja. Rasa bersalahku padanya seketika datang menghampiri.
Ia mengelus rambutku. "Jangan nangis, ini bukan salah kamu kok, ini salah aku yang kurang hati-hati," katanya.
Bagaimana mungkin Aysel malah menyalahkan dirinya sendiri yang sudah jelas-jelas adalah salahku?
Aku melepaskan pelukan padanya dan segera menghapus air mataku. "Bukan salahku bagaimana? Jelas-jelas ini semua salahku! Jika saja aku tidak berlari waktu itu, pasti kamu tidak akan begini jadinya."
"Jadi, khawatir nih ceritanya?" Aku mencibir saat mendengar penuturannya.
"Siapa juga yang khawatir padamu, aku hanya merasa bersalah saja tahu!"
Ia tersenyum kecil. "Masa sih? Abang kemarin bilang kalau katanya kamu nangis-nangis terus dan nggak bisa diem sambil liatin pintu ruangan aku," godanya.
Mataku melotot. Duh, mau disimpan di mana mukaku sekarang? Tolong tenggelamkan aku. Eh, hanya bercanda, aku belum siap.
"Aku nggak apa-apa kok, jangan khawatir gitu. Dan juga jangan nangis sedih karena aku. Aku benci itu!" ujarnya yang membuatku hanya mampu menunduk. "Sini peluk lagi!"
Hampir saja aku menangis, tetapi tidak jadi.
"Jangan merah gitu dong pipinya." Tanganku bergerak memegang kedua pipi yang memang sudah terasa panas. "Ayo dong peluk, nggak kangen nih emangnya?" Membutar bola mata, kemudian berjalan mendekat dan memeluknya lagi.
Terimakasih Tuhan, terimakasih sudah mengizinkanku untuk kembali merasakan pelukan hangat yang teramat kurindukan selama beberapa hari ini. Pelukan yang sudah kuanggap seperti pelukan dari seorang ayah.
"Kan, udah dibilangin jangan nangis." Aku sedikit terkejut kala laki-laki itu menyadarinya. Buru-buru menghapus air mata dan semakin mengeratkan pelukan padanya. "Maaf, sudah membuatmu sedih." Aku menggeleng, masih dalam pelukannya. Sedangkan dia kembali mengelus rambutku.
Brak!
Dengan cepat kulepaskan tangan yang berada pada tubuhnya saat seseorang membuka pintu dengan kasar. Aku terkejut setengah mati, jantungku hampir saja meninggalkan tempat semulanya, begitu pula dengan Aysel yang wajahnya sedikit memucat.
"O'ow." Pria dengan baju cassual itu membulatkan mata dan bibirnya.