"AKU harus gimana lagi biar kamu mau jauhin Aysel buat aku, Lan?"
Demi apapun, aku benar-benar sudah merasa muak saat gadis itu selalu menyuruh untuk menjauhi Aysel. Dadaku bahkan rasanya sesak setiap kali ketika dirinya meminta untuk hal yang teramat kubenci itu.
Ia menggenggam kedua tanganku. Mengapa harus begitu? Itu membuatku semakin sulit untuk mengatakan tidak. Mataku seketika melebar saat melihatnya menangis hingga air matanya jatuh mengenai punggung tanganku. Aku menatatap wajah gadis itu.
"Aku mohon sama kamu, Bulan. Aku bener-bener sayang sama dia," mohonnya, "dan pasti kamu tau 'kan gimana rasanya kalau laki-laki yang kita sayang deket sama cewek lain?"
Kepalaku menengadah—agar membuat air di kelopak mata tidak terjatuh.
Mungkin, aku sangat membutuhkan Aysel. Namun, apakah aku akan disebut sebagai orang jahat jika menginginkan apa yang seharusnya bukan milikku? Apa aku terlalu jahat jika menginginkan takdir Tuhan yang digariskan bukan untukku?
"Aku bener-bener butuh dia, Bulan ...."Â
Aku menggigit bibir bawah dan menghembuskan napas perlahan dengan susah payah. Kemudian, mencoba untuk tersenyum lantas mengangguk kecil, bersamaan dengan itu air mataku terjatuh.
Girsel memegang kedua bahuku. "Kamu serius, kan? Kamu janji sama aku buat lakuin itu?"
Kucoba untuk menarik garis di bibir meski terasa berat. Setelah itu, Grisel memelukku. Pelukan pertama yang kurasakan dari seorang teman perempuan.
Jadi, begini rasanya?
Nyaman.
Namun, aku merasakan sesuatu yang—
"Oh, jadi ini alasan kamu ngejauh dari aku?" Tubuhku tersentak saat melihat Aysel yang ternyata sedang memperhatikan kami. Laki-laki itu kemudian mengulas senyum sinis.
Cepat-cepat Grisel melepaskan pelukannya dan menatap Aysel dengan ekspresi—entahlah aku pun tak mengerti.
"Lo lagi, lo lagi!" tudingnya. Ia mengepalkan tangan, lalu mengacak-acak kasar rambutnya. "Gue nggak tau harus bersikap kayak gimana lagi ke lo. Kan, udah gue bilang buat jauhin gue, juga Rembulan. Lo budeg apa gimana sih?"
"GUE NGGAK BISA NGEJAUHIN LO!" teriak gadis itu yang terdengar begitu nyaring.
"Kenapa? Kenapa nggak bisa, hah?"
"Karena gue masih cinta sama lo, dan gue pun yakin kalau lo ngerasain yang sebaliknya," sahutnya.
Aysel menampilkan senyum miring yang mengejek. " Cinta yang kayak gimana sih maksud lo? Gue bener-bener nggak ngerti!"
"Cinta sepasang anak kecil yang lugu dan polos!"
Lelaki itu menggeleng, masih diiringi dengan senyum mengejek. "Bahkan, gue nggak pernah cinta sama lo! Gue nggak pernah punya rasa sama lo!"
"Omong kosong!"
"Omong kosong?"
"Iya! Karena cinta pertama lo itu gue. Lo dateng ke sini buat nemuin gue, kan? Dan, lo pura-pura temenan sama dia cuma buat bikin gue cemburu. Iya, kan?"
Aysel berdecih, "Halu lo ketinggian, woy! Gue nggak pernah dateng ke sini buat nemuin lo. Dan, yang paling penting gue temenan sama Bulan itu tulus. Bukan karena lo!"
"Gue beneran masih sayang sama lo, Sel. Gimana lagi caranya buat gue ngasih tau kalau gue cinta sama lo?" Gadis itu mencoba meraih tangan Aysel, namun dengan cepat lelaki itu menepisnya.
"Apanya yang bisa disebut cinta, sih? Bagian mana yang pantas buat dibilang cinta?" Grisel terdiam dengan tatapan sendu. "Apa lo manfaatin gue itu bisa disebut dari bagian lo mencintai gue?" Aysel mulai tersulut emosi.