Rembulan Maheswari

Dee🍓
Chapter #14

13. çabuk iyileş, Prenses.

"REMBULAN, Cucuku!" Seketika tubuhku berbalik saat mendengar suara yang terdengar tidak asing tiba-tiba memanggil namaku.

"Nenek? Ini benar-benar dirimu? Akhirnya aku bisa bertemu Nenek lagi." Kutatap wanita tua dengan kulit yang sudah dipenuhi keriput itu—tengah mengenakan pakaian serba putih.

"Kembalilah, Sayang. Ini bukan tempat untukmu." Aku menggeleng pelan, lantas mencoba untuk tersenyum padanya.

"Tidak, Nek. Rembulan tidak ingin kembali. Rembulan ingin di sini saja bersama denganmu. Kita bermain lagi seperti saat aku masih kecil dulu. Aku rindu itu. Nenek juga pasti merindukannya, 'kan?"

"Apa kamu lupa dengan janjimu, Cucuku? Kamu berjanji untuk selalu membahagiakan kedua orang tua dan juga saudaramu?" Kepalaku kembali menggeleng kecil.

"Aku tidak lupa," suaraku lemah, "namun aku sudah berusaha mengubur itu jauh-jauh karena mereka tidak akan pernah menginginkan keberadaan Rembulan, Nek!"

"Kamu harus berusaha, Sayang." Nenek mencoba untuk menguatkan.

"Biarkan aku pergi bersamamu, Nek. Nyawaku sudah terpisah dengan indah dari raganya. Aku ingin tetap di sini denganmu. Jadi, tolong untuk tidak memaksaku untuk kembali pada dunia yang menyedihkan itu." Kemudian, kupeluk dengan erat tubuhnya. Sedangkan Nenek hanya tersenyum, lantas membelai pelan rambutku.

"Kembalilah, Sayang. Di sini tidak seindah yang kamu bayangkan. Lagi pula, Rembulan harus memikirikan orang-orang yang menyayangimu. Kamu harus memikirikan Bunda juga Aysel! Ayo kembalilah, Cucuku!"

Kulepaskan pelukan yang amat nyaman itu. "Tapi, Nek—" Wanita tua tersebut menampilkan senyuman dengan begitu manis hingga membuatku urung untuk melanjutkan kata-kata selanjutnya.

Kuhela napas panjang, kemudian memeluk sekali lagi sosok tersebut dan berjalan menjauh ke arah cahaya putih di sana. Sedangkan Nenek terus saja tersenyum sembari melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan padaku.

***

Aku mengerjapkan mata beberapa kali, kemudian menatap langit-langit ruangan rumah sakit yang didominasi dengan warna putih itu. Aroma obat-obatan seketika menyeruak ke dalam indra penciumanku. Katanya, sudah satu minggu aku di sini. Ah, memangnya iya, ya? Tidak tahu juga sih, aku kan tidur.

Tadi itu, apakah aku bertemu dengan Nenek? Apa itu benar-benar Nenek? Semua terasa seperti mimpi. Dan anehnya, mengapa aku bisa berbicara? Ya ampun, bagaimana bisa seperti itu?

Tiba-tiba pintu terbuka hingga menampakkan sosok wanita paruh baya. Lantas, Bunda duduk pada kursi yang berada di dekatku. Perlahan, tangannya bergerak dengan lihai di udara. Apa kalian tahu jika dia pun pandai dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Isyarat?

Dengan susah payah, aku mencoba menarik bibir pucatku membentuk senyum simpul, kemudian menggerakkan kedua tanganku yang masih terasa sangat lemas.

"Bulan tidak apa-apa, Bun, tapi perut Bulan rasanya sakit sekali."

Bunda menatapku dengan raut muka cemas. "Benarkah? Sakit kenapa?" tanyanya.

"Rembulan ingin makan." Perempuan senja itu tersenyum sembari menjawil hidungku yang membuatku menampilkan deretan gigi.

Lihat selengkapnya