FLASHBACK ON.
Sudah dua jam berlalu laki-laki tampan dengan tinggi semapai itu berjalan ke sana-ke mari tak mau diam.
Hanya ada Aysel dan sang kakak di sini. Sedangkan Dian—bunda Rembulan—tadi sempat mengalami shock berat dan pingsan hingga mengharuskannya dirawat terlebih dahulu untuk beberapa saat.
Aysel menatap cemas ke arah pintu tersebut sambil terus merapalkan doa.
"Lo makan dulu sana, belum makan kan dari tadi?" Ia tidak mengindahkan ucapan kakaknya dan seakan tuli. "Sel!" serunya.
"Apaan sih, Bang!" kesalnya, dan mencoba untuk menatap Jhonatan dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Lo jangan becanda deh, ya kali kondisi kayak gini gue malah enak-enakan makan!" Lelaki dengan lesung di pipi itu menghela napas pelan.
"BULAN!" teriak seseorang di koridor yang membuat kedua laki-laki tersebut menengok ke arahnya. "Bagaimana keadaan Rembulan?" tanya Dian dengan raut wajah yang begitu cemas, ada lelaki paruh baya juga di belakang wanita itu.
"Bunda tenang dulu." Aysel mencoba menuntunnya untuk duduk, lantas berusaha menenangkan.
"Bagaimana keadaan Rembulan?" ulangnya dengan penuh harap. Aysel menggeleng karena dirinya pun belum tahu bagaimana keadaan Bulan. "Kenapa menggelengkan kepala?"
"Aysel juga belum tau kondisi Bulan, Bunda. Dokter belum keluar dari tadi." Dian menghela napas gusar, kini rasa ketakutan menyelimuti perasaannya.
"Maaf, permisi?" Semua pandangan terarah pada seorang gadis dengan rambut diurai yang tiba-tiba bersuara itu.
"Iya?" tanya Aysel kemudian berdiri. Gadis itu sempat bengong sebentar karena terkesima dengan ketampanannya.
"Eh, em ...." Ia mendadak tersenyum canggung ketika Aysel melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya. "A-aku mau balikkin dompet ini, tadi jatuh waktu tante itu lari," ujarnya sembari menatap ke arah Dian.
Karena merasa disebut, wanita itu kemudian berdiri dan meraih dompetnya, lantas tersenyum. "Terimakasih, Nak," katanya.
Tak lama setelah itu terdengar suara pintu dibuka hingga menampilkan wanita berhijab yang mengenakan jas putih. Semua pasang mata seketika menatap ke arahnya, meminta penjelasan tentang kondisi Rembulan kini.
"Apakah ada wali dari pasien?" suaranya.
"Saya walinya, bagaimana keadaan anak saya, Dok?" sahut Dian penuh harap.
"Anak Ibu sekarang sangat membutuhkan donor darah karena kekurangan darah yang lumayan banyak. Golongan darahnya O, kebetulan stok untuk golongan tersebut sedang kosong," jelasnya.
Dian melirik ke arah suaminya. "Mas, golongan darah kamu kan O. Jadi, tolong Mas, tolong donorin darah kamu buat Rembulan!" pintanya dengan memohon.
"Kamu ngomong apa sih, Dian? Aku tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti itu!" Jelas saja Handoko menolak mentah-mentah permintaan yang menurutnya tidak masuk di akal itu.
"Tapi, Mas, Rembulan benar-benar membutuhkan darah itu!"
"Aku tidak peduli! Lagian, dia bukan anakku lagi, jadi untuk apa aku mendonorkan darah untuk anak sialan itu!"
"Om, Rembulan bukan anak sialan! Jika Om tidak ingin menyumbangkan darahnya tidak apa-apa, tapi jangan hina dia!" Aysel angkat suara.
Sebenarnya, dirinya ingin sekali menyumbangkan darahnya untuk Rembulan. Namun, mengingat golongan darahnya A itu sangat mustahil. Karena golongan darah O hanya bisa menerima dari golongan darah O lagi.
"Kamu siapa, hah? Berani-beraninya anak kecil berbicara seperti itu kepada orang tua! Kamu tidak pernah diajari sopan santun oleh orang tuamu, hah?"
"Saya temannya, Rembulan." Aysel mengulurkan tangannya, Handoko menepis kasar tangan laki-laki itu.
"Mmm, maaf sudah lancang, tapi saya bisa kok mendonorkan darah untuknya, karena kebetulan darah saya juga golongan O." Itu suara gadis tadi, ternyata dia belum beranjak pergi dan mendengarkan perdebatan mereka.
Dian berjalan ke arahnya. "Benarkah?" Ia mengangguk tulus. "Terimakasih ya, Nak!" Refleks wanita itu menghambur memeluknya hingga membuat perempuan remaja itu hanya diam karena bingung harus merespon bagaimana.
Ia melepaskan pelukannya. "Bunda akan bayar berapapun, Bunda janji!" Dengan cepat gadis itu menggeleng.
"Tidak usah, Bunda. Saya ikhlas kok," tolaknya dengan halus dan kembali tersenyum.
Dian tidak mampu untuk berbicara lagi karena saking senangnya. Ia hanya terus mengucapkan syukur kepada Allah yang sudah berbaik hati dengan anaknya.
"Bunda tidak tahu harus berterimakasih bagaimana lagi, semoga Allah yang membalas kebaikanmu, Nak." Gadis itu tersenyum, lantas dibawa oleh dokter untuk diperiksa dan melakukan proses donor darah.
🌙🌙🌙
Aysel terduduk di taman rumah sakit seraya merenung. Ia benar-benar tidak menyangka jika Grisel tega berbuat seperti itu pada Rembulan. Dasar perempuan keji dan tidak memiliki hati.