UJIAN berakhir tepat pada hari ini. Cukup menguras otak juga ternyata.
Omong-omong, sejak kejadian satu bulan lalu, tentang aku yang disekap oleh Grisel dan kedua temannya hingga diharuskan masuk rumah sakit, membuat hubunganku dengan Aysel kian dekat.
Ah, laki-laki itu juga sudah menceritakan tentang seorang gadis yang tiba-tiba mendonorkan darahnya untukku. Sungguh, aku benar-benar tak menyangka ada orang sebaik itu. Mudah-mudahan, Tuhan berbaik hati untuk mempertemukan kami.
"DOR!" Jantungku seakan mencelos dari tempatnya saat seseorang tiba-tiba membuatku terkejut. Mendengus kesal ketika mengetahui siapa dalangnya. "Mukanya, hahaha!" Aysel terkekeh sembari memegang perutnya. "Mukanya, Allahu Akbar, ngakak gila!"
Aku mencubit lengan kekarnya yang tertutupi jaket.
"Iya-iya, maaf," katanya, sembari berusaha menahan tawa. Ingin sekali menenggelamkan diri karena tawanya yang begitu keras mengundang banyak mata serta tatapan sinis pada kami. "Ayo pulang," ajak Aysel saat sudah berada di atas motor. Aku berjalan mendekat, kemudian menaiki motor bebeknya itu.
Selama di perjalanan, entah mengapa tiba-tiba muncul dorongan yang begitu besar untuk memeluk tubuhnya. Aku hanya merasa jika ini akan menjadi boncengan terakhir kami. Dengan ragu, tanganku bergerak melingkar pada tubuh yang dibaluti jaket berwarna navy itu. Seolah mengerti, Aysel meraih tanganku dengan satu tangan dan melingkarkan dipingganya hingga mampu membuat debaran di jantung kian bertalu. Bahkan, sekarang rasanya seperti ada ribuan kupu yang keluar dari perutku.
Tak lama, kusadarkan kepala pada pundak kokohnya. Sial, air mataku tiba-tiba merebak. Entahlah, semakin lama dekat dengannya, aku malah merasa lelaki itu semakin menjauh dan sulit untuk digapai.
"Kalau begitu, aku masuk dulu ya," pamitku saat kami baru saja sampai, lalu melangkah untuk masuk. Akan tetapi, tiba-tiba Aysel menarik pergelangan tanganku.
"Besok pagi jam setengah enam aku jemput. Pokoknya, kamu harus udah siap dan jangan lupa mandi."
Mataku melongo. "Memangnya kita akan ke mana?"
"Nanti juga kamu bakal tau. Aku pergi dulu deh kalau gitu." Sebelum pergi, anak itu sempat membelai puncak kepalaku dengan sangat lembut, tak lupa juga menampilkan senyum khasnya yang mengiringi. Aku menghela napas, lantas berjalan masuk ke rumah.
πππ
"Nggak sekalian kamu bawa baju juga, hah?" sindir Ayah.
"Mas, kamu ini bicara apa sih. Jangan sebegitunya ah, kasihan Rembulan."
Tinnn ... tinnn ....
Kami bertiga yang berada di teras rumah langsung menatap ke arah laki-laki yang baru saja turun dari mobil dan berjalan mendekat. Ia menarik kurva tipis di wajah, lalu menyalami tangan kedua orang tuaku.
"Bunda izinin kok." Kutatap dia dengan tak percaya. Ha? Jadi, Bunda sudah tahu jika Aysel ingin membawaku pergi? Pantas saja tadi dirinya begitu semangat untuk memilih pakaian dan mendandaniku.
"Om, izin bawa Rembulan, ya."
"Hm!" Ayah berdeham dengan penuh penekanan, membuat keadaan menjadi semakin terasa canggung.
"Kalau begitu kami pamit dulu." Ia kembali menyalami tangan orang tuaku yang kemudian kuikuti.
"Hati-hati ya, jangan sampai kenapa-napa. Titip Rembulannya," pesan Bunda. Laki-laki itu mengancungkan kedua jempol di udara. Sedangkan Ayah menatap kami dengan pandangan datar.
Aku dan Aysel berjalan menuju mobilnya. Tanganku melambai-lambai pada mereka dari dalam mobil. Kemudian, kaca tertutup.
Keadaan hening sejenak.
"Pake sealbet-nya jangan lupa," peringatnya.
Kukira, dia akan bertingkah layaknya tokoh laki-laki di dalam novel yang sering kubaca. Memasangkan sealbeat dengan posisi yang sangat dekat, kemudian pandangan kami bertemu dengan jarak yang sangat dekat danβ
Kepalaku menggeleng cepat. Duh, ada apa denganku ini?
"Kok belum dipake? Mau dipakein?" Menggeleng, kemudian buru-buru memasangkan sealbeat tersebut. Setelah itu, mobil mulai melaju dengan kecepatan normal. Keadaan kembali hening.
"Kamu cantik banget deh, Lan." Kepalaku menoleh, menatapnya yang sedang fokus mengemudi.
"Kamu pasti sedang bercanda." Aysel menggeleng dan tersenyum simpul.
"Siapa juga yang bercanda. Kamu tuh emang tiap hari udah cantik, tapi kali ini nggak tau kenapa cantiknya malah tambah berkali lipat." Ya ampun, kenapa pipiku terasa memanas? Kuharap sekarang tidak terlihat seperti kepiting rebus.
"Memangnya kamu ingin membawaku ke mana?" Aku mengalihkan pembicaraannya.
"Ke suatu tempat. Pasti kamu bakal seneng banget dan ngerengek nggak mau pulang," katanya dengan penuh percaya diri.
"Kenapa tidak mengajakku ke rumah pohon saja? Nanti bensinmu habis lho, aku tidak bisa menggantinya."
"Ganti aja pake cintamu. Itu udah cukup kok." Kucubit lengan kekarnya beberapa kali hingga membuatnya terus mengaduh dan tertawa. "Kamu tidur aja, pasti masih ngantuk, 'kan?"
"Kenapa kamu mengajakku sepagi ini? Apa tidak bisa nanti siang saja?"
"Udah jangan dipikirin, mending sekarang tidur aja."
Aku mengangguk, lantas menyandarkan kepala dan mengedarkan pandangan ke luar. Entahlah, kini coretan kecemasan padanya semakin lama malah semakin terasa nyata. Kuhembuskan napas pelan, kemudian memejamkan mata dan mencoba untuk tidur.
πππ
"Bangun, Lan, udah sampe." Suara interupsi itu membuatku kembali ke alam nyata. Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan mencoba untuk mengumpulkan nyawa. "Ayo keluar," ajaknya sembari berjalan keluar terlebih dahulu dan membukakan pintu untukku.
Kedua mata dan mulutku membulat seketika. Betapa terkejutnya saat kami berada di sebuah tempat yang dipenuhi dengan keramaian.
"Sekarang kita di mana?" Aku mencubit lengan pelan, takut jika masih di bawah alam sadar. Namun, rasa sakit membuatku yakin jika ini nyata.
"Mmm, coba deh baca itu," perintahnya sembari menujuk tulisan besar di sana. Mulutku bergerak komat-kamit saat membacanya.
P R A M B A N A N