AKU kembali menatap sekitar dengan pandangan yang berbinar.
Kami ke pantai? Ia mengajakku ke Pantai Parangtritis?
Sungguh, aku tak percaya jika dirinya akan membawaku ke sini. Sudah lama juga tidak pergi ke pantai. Terakhir kali sewaktu masih kecil.
Ia menggengam tanganku dan menyatukan jari-jarinya yang mampu membuat debaran itu kian menggila, kemudian membawa untuk menyusuri pantai.
"Jangan terlalu ke sana, nanti kamu kebawa ombak lho!" peringatnya, aku tersenyum lalu berjalan mendekatinya.
"Khawatir, ya?" godaku.
"Ya jelas dong! Kalau kamu kenapa-napa gimana?" Aysel berbicara dengan tatapan khawatirnya yang membuatku menjadi bersalah.
"Iya-iya, tidak akan kuulangi lagi."
Tiba-tiba, laki-laki itu memegang kepalanya seraya merintih kesakitan, lalu terjatuh begitu saja. Hal itu membuatku panik setengah mati.
Ba-bagaimana ini? Apa Aysel sedang sakit? Jika benar, mengapa malah membawaku ke sini? Tolong jangan mati sekarang, nanti aku pulang dengan siapa?
Aku bercangkung¹ di hadapannya. Menepuk-nepuk pipi lelaki itu beberapa kali. Tanganku kemudian bergerak menyentuh bibirnya. Masa iya harus kuberi napas buatan. Perlahan, kucoba mendekatkan kepala ke arahnya.
"Bwa!" Aku terjengat setengah mati hingga tubuhku terhuyung jatuh ke pasir. Sialan, aku tertipu. "Hayo, tadi mau ngapain, hm?" sambil menyugar rambutnya ke belakang.
Duh, mau di taruh di mana mukaku? Karena kesal dengannya yang terus menggoda. Aku mencoba untuk melempari laki-laki itu pasir yang baru saja kurauk.
"Ampun, ampun!"
Ia berdiri, kemudian kabur dariku. Aku yang tak mau kalah pun ikut berdiri dan berlari mengejarnya sembari melempari pasir. Entah karma atau bagaimana, Aysel tiba-tiba terjatuh. Tak ingin membuang kesempatan emas itu, aku berjalan mendekat, lantas mengubur seluruh tubuhnya hingga hanya menyisakan wajah saja.
"Ampun, Nyai," mohonnya.
"Tiada ampun bagimu, wahai prajuritku!"
"Dengan kekuatan seribu bayangan!" Laki-laki itu mengangkat tangannya yang tengah kukubur, "Cak, cak," ujarnya sembari berguling-guling.
Aku mencibir ketika melihat tubuhnya yang tak lagi terkubur. "Gurunya Naruto nih, jangan dilawan!" bangganya.
"Masa sih?"
"Eh, enggak percaya." Tiba-tiba, ide untuk menggelitikinya terlintas di kepala. Tanganku bergerak menari-nari di perutnya hingga membuat lelaki itu tertawa sangat keras dan terus meminta ampun.
Bruk!
Yang semula duduk, kini tahu-tahu kami sudah berbaring dengan beralaskan pasir dan tanganku yang menindih dadanya. Bahkan, aku bisa merasakan jantung laki-laki itu yang berdetak begitu kencang. Kenapa? Apa ....
Aku mengaduh sewaktu dirinya mencubit kedua pipiku. "Cari kesempatan ya?" tuduhnya. Segera kubenarkan posisi yang tak baik untuk kesehatan jantungku ini. Hua, aku tidak akan mandi setelah ini.
"Eh, liat deh itu mataharinya hampir tenggelam," katanya sembari menunjuk baskara yang hendak pamit karena menyudahi pekerjaannya di hari ini. Aku tersenyum sumringah saat menatap benda langit itu. Benar-benar indah, ditambah langit jingga yang menemani kepergiannya.
Kami berdua duduk dengan manis sambil menatapnya yang hendak pamit. Tak lupa juga untuk mengabadikan momen itu.
"Apakah setelah ini kita akan pulang?" tanyaku, hingga berhasil memecahkan keheningan di dalam mobil.
"Ada tempat terakhir yang harus kita kunjungi!" Aku terdiam, lalu mengedarkan pandangan ke luar. Tak lama, kami akhirnya sampai pada tempat yang laki-laki itu maksud.
Malioboro.
Tempat yang kebanyakan orang mengatakan wajib untuk dikunjungi saat sedang menyambangi kota Yogyakarta. Cuaca malam ini tidak terlalu mendukung karena ditemani dengan rinai hujan.
Kami berjalan di sepanjang Malioboro sembari sesekali memperhatikan sekitar. Banyak juga yang berjualan di sini.
Aku mencibir saat laki-laki itu terus saja memfotoku secara diam-diam atau memaksa untuk difoto.