PENGUMUMAN kelulusan sudah diumumkanĀ kemarin, dan itu berarti Aysel take offĀ pada hari ini. Dia akan pergi malam ini juga pada pukul delapan. Namun, dengan bodohnya aku malah masih terduduk di kursi dan berharap untuk lelaki itu tidak jadi pergi.
Apa aku harus menemuinya untuk terakhir kali? Sayangnya, aku benar-benar tidak berani. Aku tidak mampu.
Hey, Rembulan. Apa kamu ingin nanti menyesal karena tak dapat bertemu dengannya lagi? Bagaimana jika anak laki-laki itu tak kunjung kembali?
Aku harus menemuinya walau sekedar mengucapkan salam perpisahan yang terakhir kali. Aku menganggukkan kepala mantap lalu buru-buru berjalan keluar mencari sepeda. Dengan secepat mungkin, kucoba untuk mengayuhnya.
Banyak orang yang melihat ke arahku, mungkin karena terlihat konyol dengan aku yang pergi menuju bandara hanya menggunakan piyama berwarna biru dan berkarakter animasi yang kepalanya berbentuk love serta bibir lonjong berwarna kuning.
Ah, aku tak peduli itu.
Pandanganku mengedar ke sekeliling sembari berjalan mencari Aysel. Mencari salah satu laki-laki dari banyaknya kerumunan manusia di sana.
Rasanya, benar-benar melelahkan. Aku melirik pada jam berwarna cokelat di tangan. Sudah pukul delapan rupanya. Bahuku merosot dan tubuhku rasanya lemas seketika. Perasaanku sudah tak karuan. Aku merasa panik, takut, ditambah bisingnya suara di bandara membuat diriku semakin frustasi.
Dengan langkah kecil, kucoba untuk berjalan menuju kursi tunggu. Memilih duduk dan menutup wajah di balik kedua tangan. Aku menangis layaknya orang bodoh.
Grep!
Hampir saja mengumpat tanpa suara ketika merasakan sebuah sentuhan di bahu secara tiba-tiba. Pandanganku mendongak, menatap sang pelaku. Ia mensejajarkan tingginya denganku yang sedang duduk. Kemudian, mengulas senyum dan memegang kedua pipiku, lantas menghapus air mata di sana secara perlahan juga lembut.
Aysel tersenyum. "Jangan nangis, aku nggak mau lihat bidadariku menjatuhkan hujannya."
Kata-kata itu malah semakin membuatku jadi ingin kembali menangis. Ia menekan hidungku dengan ibu jarinya, lalu menarik senyum manisnya hingga membuat debaran di jantungku kian bertalu.
"Apa kamu jadi pergi?" tanyaku penuh harap. Namun, hatiku semakin terasa diremat kala dirinya mengangguk dengan pelan.
Aku berdiri yang diikuti olehnya. Kemudian, kupeluk tubuh semapainya itu dengan sangat erat, membuat air mataku kembali merebak. Aysel membalas pelukan tersebut. Kini, aku tak peduli pada orang-orang yang memperhatikan kami, karena yang kuinginkan sekarang hanya menangis.
Kepalaku mendongak menatapnya dengan mata yang memerah, lelaki itu kembali memegang kedua pipiku dan menghapus air mata yang tak sopannya mengalir begitu saja.
"Jangan nangis. Kan, udah kubilang kalau aku benci liat kamu nangis sedih karena aku, Rembulan."
Kulepaskan pelukan tersebut. "Makanya, jangan tinggalkan aku. Jangan pergi, Aysel!" Laki-laki itu terdiam lalu tersenyum kecil dan mengacak-acak rambutku lagi. Tangannya meraih tangaku kemudian menyatukan jari-jari kami.
"Ayo, aku mau beliin kamu kopi sebelum boarding!" Kepalaku mengangguk, kemudian kami berjalan sembari bergandengan tangan. Ia menggengam tanganku erat seolah takut aku akan hilang di balik banyaknya orang yang berkerumunan.
Apa ini akan menjadi gengaman tangan yang terakhir nantinya?
Aku menghela napas panjang. Semakin lama anak laki-laki itu menggengam tanganku, malah rasanya semakin sakit dan takut untuk kehilangannya.
Pesanan kami akhirnya datang, satu gelas Macchiato dan satu gelas Americano. Ini adalah pesanan pertama kali yang kami pesan secara bersamaan.
"Apa kamu sungguh-sungguh akan pergi ke Amerika?"
Ia menampilkan kurva tipis di wajahnya. "Gimana rasa kopinya?"
"Sangat pahit, seperti kenyataanku saat ini!" Laki-laki itu terkekeh pelan.
"Kamu mau ngelanjutin kuliah ke mana?"
"Kemungkinan aku akan ke Yogya."