SUDAH dua bulan ternyata anak laki-laki itu pergi. Sudah dua bulan pula aku kehilangan sosoknya, kehilangan senyum kotaknya, dan kehilangan tingkah lakunya yang selalu penuh dengan kejutan.
Bahkan, kami lost contact semenjak di bandara kala itu. Dia tak pernah lagi menghubungiku.
Ini benar-benar terasa seperti mimpi.
Perlahan, mataku berkaca-kaca. Memori dengannya tiba-tiba berputar begitu saja. Dadaku semakin terasa sesak kala tergiang ucapan selamat malam yang selalu diucapkannya selepas mengantarkanku pulang.
Aku yang tengah berada di perahu danau tak henti-hentinya memainkan air. Mengobok-obok dengan tatapan kosong. Kini, diriku benar-benar terlihat sangat kacau hanya karena seorang laki-laki yang berhasil menerobos dinding hati.
Gludug ... Gludug ....
Kalian tahu 'kan, jika aku tidak suka hujan? Namun kali ini, entah mengapa aku membiarkan diriku untuk dibahasi olehnya.
Kepalaku mendongak, menatap langit yang mulai menggelap. Mataku terpejam, membuat bulir itu terjatuh dengan sekenanya. Tak lama, hujan benar-benar turun.
"Aku akan menjadi fajar untukmu, bukan senja yang selalu kautunggu. Meski dingin mencekam dan tak memiliki pesona, namun, ia akan tergantikan dengan mentari yang menyinari dan menghangatkan sedikit hidupmu. Bukan senja yang menorehkan rasa pilu dan duka karena pesona serta pamornya akan lenyap ditelan gelapnya malam."
Mengacak-acak rambut dengan kasar, kemudian memeluk lutut dan menenggelamkan wajah di sana.
Jika kalian ingin mengataiku bodoh atau terlalu berlebihan, silahkan! Namun, apakah kalian tahu bagaimana perasaanku saat ini?
Aku, si gadis cacat yang tidak pernah mempunyai teman tiba-tiba didatangi oleh seseorang yang mengaku jika ia adalah teman masa laluku. Kemudian, memberi segala sesuatu yang tak pernah kudapat dari siapapun, termasuk dari Ayah.
Selain itu, ia bahkan menerbarkan virus kebahagian yang tak pernah kutemukan di manapun, dan selalu bertingkah layaknya super hero.
Kini, aku marah, kecewa, juga sedih saat dirinya mengatakan kata-kata pamit. Duniaku mendadak hancur. Bahkan, saat mendengar kalimat menyesakkan itu, tulangku terasa ikut pergi bersamanya.
Sebegitu berpengaruhnya laki-laki itu dalam hidupku?
Tak kurasakan lagi air yang berjatuhan dari langit. Sudah reda rupanya. Kemudian, menghembuskan napas pelan dan berjalan ke atas rumah pohon dengan keadaan basah kuyup.
Kutatap berbagai foto dan balon di sana. Entah mengapa, itu malah membuat dadaku semakin terasa sesak. Ini kali pertamanya aku kembali ke tempat ini setelah perpisahan kami dua bulan lalu.
Tak ada yang berbeda.
Kuraih laptop di tas, membuka folder dengan nama 'My Alien👽'. Folder itu berisi ratusan fotoku dengannya. Lalu, kuputar lagu Terlalu Cinta dari Rossa.
Air mata yang semula reda, akhirnya kembali muncul hingga membuat mataku berkaca-kaca. Senyumku merekah diiringi tangis rindu kala di sana terpampang video Aysel yang tengah melakukan lipsing beat box.
"Kira-kira Aysel bakal ngapain, ya? Beat box? Dance? Atau mukbang bakso Pentol?" Itu suara Pak Jho yang sedang merekamnya.
"Aku bukan boneka!"
"Nggak usah ngomong, napas lo bau!" Aysel memanyukan bibir saat ucapan ketus itu keluar dari mulut sang kakak. "Buruan, mau meeting nih!"
Anak laki-laki itu menarik napas panjang dan mulai melakukan beat box.
"Beuh, mantap gila gaes," puji sang kakak di balik kamera."Eh, kita lupa nggak ngerekam HP-nya juga," lanjutnya sembari mengarahkan kamera ponsel pada handphone di tangan Aysel.
"Bang, ah lo mah, jadi ketauan, kan!" Aysel menghentikan lips sync-nya sembari memasang wajah kesal.
"Nggak apa-apa gaes, meskipun lips sync, tapi setidaknya adek gue udah bekerja keras buat nunjukin yang terbaik untuk kalian."
"Lebay lu kampret!" cibirnya sembari memukul ponsel yang berada di tangan laki-laki itu, membuat benda tersebut terjatuh ke lantai.
"Bazeng, iPhone X 256 Gb gue woy! Dua puluh juta anjir harganya! Untung aja gue beli casingnya yang dari baja!" kesalnya. Hanya terdengar suara pria itu saja, karena kameranya yang mendadak gelap.
Aku mengambil napas perlahan saat dadaku semakin terasa sesak. Kemudian, menghapus air mata di sana.
Entahlah, sudah dua bulan padahal, tetapi rasanya masih saja menyesakkan.
Omong-omong, ini adalah hari terakhirku di Jakarta. Karena besok aku harus pindah ke Yogya, ikut bersama nenek dan kakek dari ayah di sana.
Sebenarnya, aku tidak mau. Namun, mereka yang selalu memaksa. Katanya, mereka merasa kesepian. Bunda juga menyetujui permintaan itu, supaya aku tak lagi kena amuk oleh Ayah. Terpaksa aku mengiyakan, padahal sudah nyaman di sini. Lagian, tempat itu juga cukup menyakitkan untukku.
Bolehkah aku mengubah takdirmu, Tuhan?
Tanganku kemudian bergerak mengambil buku catatan dengan karakter yang Aysel belikan padaku saat itu.
Perpisahan.