KEDUA bola mataku hampir saja mencelos dari tempatnya, kala melihat sepedaku yang terparkir dengan kerangka tak utuh lagi.
Ban belakang dan depannya SUDAH TIDAK ADA!
Menghela napas kemudian merutuk dalam hati. Pasti ini ulah Satya serta kedua temannya itu. Karena saking kesalnya, aku sampai menendang sepeda tersebut hingga terjatuh.
Kulihat di sana ada tiga orang laki-laki yang sedang berdiri membelakangiku sembari berbincang-bincang dan tertawa, juga—iya benar, itu ban sepedaku yang tengah mereka mainkan.
Entah keberanian dari mana, aku berjalan dan mendorong Satya dari belakang, membuatnya terhempas beberapa langkah ke depan. Lelaki itu menggeram marah, lantas membuat mereka bertiga berbalik menatapku.
"Weh, udah berani ngelawan tuh si cacat!" sinis Martin.
Lalu, kukeluarkan catatan kecil di saku dan menanyakan perihal alasan mengapa mereka mencopot ban sepedaku. Ketiga laki-laki itu membacanya, kemudian terkekeh.
"Ya, emang kenapa? Lo nggak suka, hah?" Rafa bersuara.
"Nanti aku pulang bagaimana jika kamu mencopotnya!" geramku di ujung tanduk.
Martin menyeringai. "Jalan kaki aja sono!"
"Rumahku jauh! Sekarang, kalian harus tanggung jawab dan perbaiki sepedaku!"
"Hah, gue nggak salah baca?" Mereka kembali terkekeh. "Kita, harus perbaiki sepeda butut lo itu?" Aku mengangguk. "Nggak usah mimpi!" Satya mendorong keningku dengan telunjuknya, kemudian berlalu begitu saja.
Ah, sialan.
Buru-buru aku berlari ke arahnya dan menarik kedua tangan Satya yang langsung dia hempaskan dengan kasar.
"Nggak usah pegang-pegang! Ntar gue ketularan tuli lagi!" sarkasnya.
Tanganku mengepal marah. Ingin rasanya kuhempaskan mereka ke gunung Krakatau. Namun, sayangnya nyaliku terlalu ciut dan tubuhku terlalu peot.
"Sana suruh tuh pahlawan lo aja!" Dahiku berkerut. "Siapa tuh namanya gue lupa. Angel, Ansel, apa siapa sih!" Dia nampak berpikir.
"Anak cacat ternyata punya pahlawan juga, ya?"
"Ya gitu lah. Tukang cari perhatian, haha!"
"Eh, tapi dia nggak di sini, kan? Nggak bisa nyelamatin lagi dong!"
"Hahaha ... malu tuh kayaknya dia punya temen tuli!"
"Yaiyalah, siapa juga yang pengen temenan sama orang kayak dia! Malu-maluin yang ada!" Mereka bertiga kembali tertawa kencang.
Satya berjalan mendekat. Jarinya bergerak untuk mengangkat daguku dan mengulas senyum mengejek. Jujur saja, senyuman itu yang paling aku benci darinya.
Kemudian melangkah pergi begitu saja dengan ketiga temannya.
Sudah sore seperti ini jarang yang masih ada di sini. Lagian, tidak mungkin kan aku membawa pulang sepeda yang sudah tidak ada bannya itu ke rumah atau bengkel. Karena jaraknya yang sangat jauh dari sini. Ditambah, sebentar lagi sudah mau malam. Aku pun tidak mempunyai uang lebih untuk membayarnya nanti.
Terpaksa kubawa sepeda tersebut ke satpam sekolah untuk dititipkan di gudang sementara waktu saja.
Awalnya, Pak Harto menolak. Namun, dengan susah payah aku merayu hingga akhinya dia mengiyakan. Syukurlah. Kemudian, aku mencari angkutan umum untuk kembali ke rumah.
🌙🌙🌙
"Akhirnya Cucuku sudah pulang," pekik Nenek senang.
"Kamu ke mana saja toh, Nduk. Dari tadi Nenekmu cemas dan tidak mau masuk ke dalam karena saking khawatirnya." Kucium punggung tangan laki-laki yang baru saja mengeluarkan kalimatnya itu.
"Tadi Bulan sibuk, jadi baru bisa pulang jam segini," jawabku.
"Lho, sepedamu ke mana, toh?" Wanita yang kepalanya sudah dipenuhi oleh uban itu memperhatikan sekeliling.
"Lah, iyo, sepedamu ke mana, Nduk?" tanya Kakek.
Haduh, aku harus menjawab apa? Kan, tidak mungkin jika aku memberi tahu mereka yang sebenarnya.
Nenek melambai-lambaikan tangan di depan wajahku. "Apa ada yang menjahilimu?" tebaknya yang sangat tepat sasaran.
"Mmm, tadi sepedanya rusak di perjalanan. Jadi, Rembulan titipkan di bengkel." Keduanya mengangguk-angguk percaya.
Pfft, syukurlah. Maaf, aku berbohong pada kalian. Mungkin, lain kali aku akan berbicara dengan jujur. Namun, jika kepepet, terpaksa aku berbohong. Kemudian, meminta maaf dalam hati.
Haha, aku hanya bercanda kali ini. Tidak tahu nanti.
Lalu, kami bertiga masuk. Aku menuju kamar dan bersih-bersih badan. Setelah itu, duduk di kursi belajar sembari melamun.
Hm, sekarang aku tidak bisa lagi untuk melakukan kebiasaan yang paling kurindukan. Yaitu, pergi ke rumah pohon selepas pulang sekolah. Sungguh, aku benar-benar merindukannya.
Rumah itu, adalah tempat pertemuan pertama kalinya aku dengan Aysel di masa SMA. Laki-laki yang bayangnya masih mengikuti hingga saat ini. Aku ingat betul dengan jelas saat dia memperkenalkan diri untuk pertama kali. Dan, siapa sangka jika saat itu Aysel sedang berakting?
Sungguh akting yang luar biasa.
Kenapa dia tidak memilih untuk menjadi artis saja? Pasti banyak yang mau menerima dengan bakatnya itu.
Ia berpura-pura mengenalku untuk pertama kali, namun ternyata dirinya jauh mengenalku sebelum itu. Pantas saja, saat menatap senyum tersebut, aku tidak seperti merasakan bahwa Aysel adalah orang asing yang datang begitu saja.
Menghembuskan napas pelan, kemudian mulai mengambil buku catatan di dalam tas.