"LAN, kan bentar lagi aku mau anniversary sama Deon yang ke lima bulan, kira-kira bagusnya ngasih apa ya?" tanyanya dengan antusias. Omong-omong, sekarang kami sedang berjalan menuju parkiran.
"Memang, biasanya kamu kasih Deon apa?" Meisie membaca tulisanku di catatan kecil dan mulai berpikir.
"Mmm ...," sembari mengetuk-ngetuk dagunya. "Jam tangan, sepatu, jaket, sama kamera," jawabnya.
"Sebanyak itu?" Gadis itu mengangguk. "Lalu, dia memberimu apa?"
"Kalo setiap anniversary sih, dia ngasih coklat ke aku."
Aku terdiam. Semua barang yang diberikan oleh Meisie kepada Deon hanya dibalas dengan sebatang coklat yang harganya bisa dibilang tidak sebanding?
Apa bisa begitu?
Lagian kan, seharusnya yang memberi itu laki-laki.
Bukan, bukan berarti perempuan tidak boleh memberi. Hanya saja, jika seperti itu bukannya malah terlihat aneh?
"Heh ada si tuli nih!" Tiba-tiba, kurasakan sebuah tangan menarik paksa tas gendongku dari belakang. Aku mendengus kala orang itu lagi yang menggangguku.
Mereka bertiga—Satya, Martin, dan Rafa—mengoper-oper tasku sebagai mainan.
"Eh, lo apa-apaan sih!" bentak Meisie sembari mendorong tubuh mereka satu per satu dengan kasar.
"Apa? Lo mau ikut gue bully juga, hah?" Satya menyeringai.
"Bener-bener nggak ada kapoknya ya lo!" tudingnya, "kayak banci tau nggak sih!" Laki-laki itu tertawa, kemudian menepis telunjuk Meisie dan menudingnya balik.
"Emang, urusan sama lo tuh apa? Masalah?"
Bugh!
Mulutku membulat saat menatap Deon yang tiba-tiba datang dan langsung meninju bibir Satya. Dengan cepat, kutarik lengan gadis itu.
"Jangan berani-beraninya lo gangguin cewek gue!" bentak Deon. Kedua teman Satya sudah ingin maju menghajarnya. Namun, urung saat laki-laki itu menahannya.
Satya mengelap bibirnya yang berdarah, kemudian tersenyum sinis.
"Atau lo bakal tau akibatnya!" sambung Deon mengancam. Setelah itu, laki-laki yang usianya satu tahun di atasku menarik tangan Meisie, begitu pula dengan Meisie yang menarik tanganku untuk pergi.
"Kalo gue bongkar semua kebusukan lo itu, kira-kira ekspresi orang-orang bakal gimana, ya? Apalagi pacar lo itu? Apa dia masih tetep mau sama lo?"Â Kalimat tersebut berhasil membuat langkah kami bertiga terhenti. Dan dapat kulihat ekspresi Deon yang tiba-tiba berubah, seperti sedikit pucat, mungkin.
Karena geram, Meisie berjalan ke arah Satya dan ....
PLAK!
"Jaga ucapan lo!" serunya.
Dapat kupastikan itu bukan tamparan yang main-main. Sebab, wajah Satya sampai berpaling karena saking kerasnya. Lelaki itu kembali tertawa sambil memegang pipinya yang memerah. Sedangkan Deon buru-buru menarik kekasihnya untuk pergi.
"Apa maksud si cowok tengil itu, sih? Ngomong sembarangan!" gerudel Meisie saat kami baru saja sampai di parkiran.
"Udah, Sayang, nggak usah ditanggepin."
"Nggak usah ditanggepin gimana? Dia ngomong seenaknya gitu! Kamu juga malah diem aja!"
"Yaudah, mending kita pulang aja."
Meisie menghela napas. "Lan, kamu mau bareng kita nggak?" Setelah tadi dianggap seperti nyamuk, akhirnya ditanyai juga. Aku lalu menggeleng kecil.
"Beneran?" tanyanya. Kutunjuk sepeda yang terparkir tak jauh dari sana. "Oh iya lupa, kamu kan bawa sepeda," sambil menepuk jidat. "Kalau gitu kita duluan, ya."
Kuperlihatkan senyum terbaik padanya. Tak lama, akhirnya mereka masuk ke dalam mobil dan berlalu dari hadapanku.
Selayang ingatanku tiba-tiba berputar pada ucapan Satya tadi. Kira-kira, apa ya maksudnya?
Ya sudahlah, lebih baik aku pulang saja. Kemudian, kulangkahkan kaki ke arah sepeda yang terparkir dengan manis di sana. Lalu menaikinya dan menjemput kasur yang tengah merindukanku di rumah.
🌑🌑🌑
Hari ini adalah hari Minggu.
Tidak, aku sedang tidak mengajari kalian nama-nama hari. Hanya ingin memberi tahu bahwa sekarang adalah hari di mana aku berkeliling ke taman kota komplek dengan sepeda.
Tadi, Nenek menyuruhku untuk pergi keluar, awalnya aku menolak dan ingin membantunya di rumah saja. Namun, ia tetep bersikukuh. Ya, mau bagaimana lagi, aku kan tidak bisa untuk menolak perintahnya.
"Heh!"
Seketika aku menekan rem pada sepeda saat melihat seseorang yang tiba-tiba berdiri sembari bersilang dada di hadapanku.
Anak itu lagi.
Kenapa dia selalu ada di mana-mana?
Dengan tidak ada rasa bersalahnya, tiba-tiba dia duduk di jok belakang. Seperti biasa, dengan posisi membelakangiku sambil merentangkan kedua tangan. Aku mendengus, lalu mendorong tubuhnya untuk menjauh. Namun, Satya malah mengeratkan pegangannya pada jok.
Menghela napas, lalu menggowes sepeda dengan ogah-ogahan.
Yang membuat kepalaku menjadi pening adalah, saat dirinya terus saja berbicara tiada henti layaknya burung beo.
"Eh tau nggak, masa gue suka sama cewek dong! Kenapa ya kira-kira?"
Ya, berarti kamu masih normal dong! Begitu saja kok nanya.
"Tapi, kayaknya dia nggak suka sama gue sih. Katanya gue nyebelin sama galak," ocehnya.
Lah, kan memang benar. Sangat benar malahan. Berarti gadis itu tidak buta.
"Eh, lu kok diem mulu sih dari tadi?" Ia menjeda ucapannya. "Oh iya gue lupa, lo kan bisu."
Ingin sekali kutampar wajahnya pada bekas tamparan Meisie kemarin. Mulutnya benar-benar tidak pernah disaring dulu sebelum berbicara.
"Berhenti di tukang batagor itu dong! Gue laper!" Aku memandang tempat yang ditunjuknya. Lalu, mengarahkan sepeda ke arah sana.