"SAYANG, aku punya sesuatu buat kamu lho." Atensiku tertuju pada sepasang kekasih yang sedang dirundung asmara itu. Terlihat raut muka Deon yang mendadak berbinar.
"Apa?" tanyanya penuh harap.
"Ini." Meisie mengeluarkan sebuah kotak di atas meja.
"A-apa ini?" tanyanya sembari menarik kotak itu mendekat.
"Buka aja." Dengan cekatan, Deon membuka kotak tersebut. Mulutnya seketika melebar.
"Ini bukannya hoodie yang aku mau itu, Sayang?" pekiknya pelan. "Ini mahal banget, lho. Beneran buat aku?" Gadis di depanku mengangguk cepat.
"Kan, sekarang hari anniversary kita yang ke lima bulan." Entah hanya perasaanku saja atau memang benar, namun aku melihat bahwa ada sedikit perubahan pada wajah laki-laki tersebut. "Kamu nggak lupa, kan?"
"Hah, eum, ya-ya enggak lah," jawabnya dengan tidak meyakinkan.
Apa benar jika Deon tidak melupakannya?
"Ekhem!" Aku terkejut ketika seseorang yang baru berdeham itu duduk di sebelahku dengan nampan di tangannya.
"Ngapain lo ke sini?" sinis Meisie.
"Lo nggak liat mejanya pada penuh? Cuma ini doang yang masih kosong," sahut Satya yang tidak menatap lawan bicaranya, dan malah asik menyantap makanan yang dibawa.
"Ya jangan di sini lah! Kan, di bawah masih kosong!"
"Iw, apaan banget, dah. Ya kali cucunya Kanjeng Damis duduk di bawah!" Perempuan itu memutar bola matanya malas. "Weh, dapet apa kali ini dari mainan lo?" Aku sangat paham jika pertanyaan itu diajukan kepada Deon.
Meisie mengangkat alisnya. "Maksud lo?"
"Orang bego nggak akan tau!"
Ucapannya yang lebih tajam dari celurit itu membuat Meisie berdiri dan siap untuk menghajar Satya. Namun, dengan cepat Deon menahannya.
"Udah, nggak usah diladeni, nanti kamu capek sendiri."
"Tapi dia nyebelin banget, Sayang!" kesalnya, lalu kembali duduk.
"Udah, biarin aja!"
"Gue jamin lo bakal nyesel udah pacaran sama cowok baj*ngan itu." Ia menatap ke arah Meisie. "Gue saranin sih, mendingan lo putus aja dari sekarang."
Plak!
Satu tamparan keras berhasil mendarat tepat di pipi Satya.
"LO YANG LEBIH BAJ*NGAN SATYA!" teriaknya, hingga mengundang perhatian seluruh kantin. "Lo nyadar dong! Liat diri lo sekarang. Bahkan, nggak ada yang mau temenan sama cowok sebaj*ngan lo!" Lelaki itu mengepalkan kedua tangan.
"Udah Sayang, mendingan aku anter ke kelas aja, ya," kata Deon yang menengahi, kemudian menarik tangan Meisie menjauh dari area kantin.
Dengan segera, aku menuliskan sesuatu di kertas dan menyobeknya lalu memberikan pada Satya, kemudian berlari mengikuti Meisie.
"Tolong jangan dimasukkan ke hati ucapannya. Ia hanya sedang terbawa emosi. Kuharap kamu bisa memahaminya."
πππ
Seperti biasa, aku pulang menaiki sepeda. Entahlah, kebiasaanku sejak sekolah menengah itu tidak pernah hilang hingga sekarang. Karena menurutku, menaiki sepeda lebih efektif dan tidak menimbulkan polusi.
Aku memutar bola mata kala seseorang mengambil alih sepeda tersebut dari tanganku.