AKHIRNYA, film tersebut kami selesaikan juga.
"Mau makan atau langsung pulang?" tawar Satya spontan.
"Pulang saja."
"Nggak laper?" Aku menggeleng cepat. "Beneran?" tanyanya untuk memastikan.
Kruk ... Kruk ....
Hampir saja aku mengumpat saat perutku ini tidak dapat diajak kompromi.
"Serius nggak laper?" Laki-laki itu tertawa kecil. "Cacingnya minta dinafkahin tuh," ledeknya yang membuatku memanyunkan bibir, dan dengan sialannya laki-laki itu malah menariknya. "Kayak pantat ayam."
Hish, minta dijitak!
Satya tiba-tiba menarik menarikku dan kami berhenti di salah satu pedagang kaki lima. Sudah lama rasanya aku tidak makan pecel.
"Gimana hubungan lo sama si Mesi?" Atensiku beralih padanya. Sejak kapan nama temanku mirip dengan pembalap kelas kakap itu?
"Namanya Meisie," ralatku.
"Ya itulah, gue nggak tau."
"Hm, seperti itu saja. Dia masih belum mempercayaiku. Mungkin karena cintanya yang terlalu besar untuk Deon."
"Najis, bucin banget!" sindirnya.
"Memangnya, kamu tidak pernah seperti itu juga?"
"Nggak tuh."
"Omong-omong, kenapa kamu sangat membenci Deon?" Lagi-lagi, kalimat ini keluar dari mulutku. Habisnya mau bagaimana lagi, aku sangat penasaran sekali dengan itu.
"Heran, udah gue ceritain tapi nanya mulu," kesalnya.
"Karena jawabanmu tidak memuaskan bagiku dan malah semakin membuatku bingung," sahutku, "tetapi, jika kamu merasa tidak nyaman untuk menceritakannya, aku tidak apa-apa." Ia menghela napas dan menghentikan makannya, kemudian meneguk air minum di atas meja.
"Lo bener-bener mau tau alasan gue benci banget sama dia?"
Aku mengangguk. "Makanya sedari tadi aku bertanya karena aku bener-bener ingin tahu."
"Dulu, gue punya adik cewek, namanya Angel. Kita lahir cuma beda beberapa bulan. Dia orang yang paling gue sayang, bahkan apapun bakal gue lakuin buat dia."
Apa? Jadi, Satya mempunyai saudara kandung?
"Asal lo tau, Deon itu mantannya Angel, mereka satu sekolah dan Deon seniornya. Awalnya gue setujuin hubungan mereka karena apapun yang adik gue suka dan buat dia bahagia, maka itu juga bakal buat gue bahagia. Dan suatu hari, gue liat Angel murung terus, dia juga sering nangis diem-diem. Dugaan gue mungkin karena sebuah masalah biasa dalam hubungan. Ya, setiap hubungan nggak selalu berjalan mulus terus, kan?" Aku mengangguk setuju.
Memang benar jika suatu hubungan tidak akan berjalan mulus saja. Seperti aku dan Aysel contohnya.
"Gue terus berusaha buat bujuk dia cerita tentang apa masalahnya. Sayangnya, dia selalu nolak," Satya menjeda. "Dan, lo tau hal yang bener-bener bikin gue jadi ngerasa gagal jadi seorang kakak?" Aku menggeleng kecil. "Adik gue hamil karena dia," lirihnya.
Mataku membulat sempurna dan hampir saja meloncat dari tempatnya karena saking tak menyangka.
"Dia maksa buat Angel ngelakuin hal hina itu." Kuraih lengan itu dan menggengamnya kemudian.
"Jika kamu merasa keberatan, tidak usah cerita saja. Aku tidak apa-apa. Karena, aku tahu ini sangat berat bagimu." Dia menggeleng kecil. Salah satu tangannya kemudian menumpang tanganku yang menggengamnya.
"Setelah gue tau kenyataan itu, gue langsung berniat buat datengin rumahnya. Ah, pokoknya udah kayak orang kesetanan. Udah nggak peduli sama Angel yang terus nahan supaya nggak memperpanjang masalah ini. Lo bisa bayanginkan gimana perasaan gue waktu dia ngomong gitu?" Aku mengangguk kecil. "Sampe akhirnya, ada hal yang bikin gue benar-benar kecewa sama dia. Lo tau? Dia lagi sama cewek lain yang udah pasti selingkuhannya karena mereka kelihatan mesra. Ya, nggak beda jauh sama yang kita liat waktu itu."
"Saking nggak bisa nahan emosi, gue langsung narik kerah bajunya dan ngehajar habis-habisan. Nggak peduli kalau mukanya ancur atau hal apapun karena yang ada di pikiran gue adalah dia mati. Dan saat itu, kejadian yang nggak diduga muncul." Satya memejamkan mata. "Angel tiba-tiba dateng terus narik tangan gue buat berhenti. Dia yang nangis malah semakin bikin gue nggak karuan dan reflek ngehempas tangannya sampe dia kedorong karena saking kuatnya. Gue nggak tau pasti gimana kejadian itu, yang jelas Angel udah terkapar nggak sadarin diri karena ketabrak mobil."
"Untungnya mobil itu mau tanggung jawab. Gue langsung bawa dia ke rumah sakit. Tapi, takdir berkata lain. Angel berpulang saat itu juga."
"Jangan bilang jika itu adalah alasanmu menjadi tukang bully?" Ia terdiam.
"Lo tau kan kalau kelas sepuluh gue bersikap normal kayak kalian? Tapi, kelas sebelas akhir gue berubah. Dan, orang yang sering gue ganggu itu lo. Karena lo sama Angel punya beberapa kemiripan dari sikap. Nggak tau kenapa waktu gue liat lo, gue ngerasa tersiksa karena selalu keinget sama Angel."
Hah? Benarkah itu?