AKU tersenyum kecil kala semilir angin malam menerpa wajah.
Sedari kemarin, ingin sekali rasanya untuk pergi ke Malioboro. Dan baru kali ini bisa menuruti kemauanku itu. Itung-itung, sekalian menenangkan pikiran sembari bernostalgia di sini.
Rinduku pada seseorang yang namanya masih tersimpan dengan jelas di memori itu, entah mengapa semakin hari malah semakin besar. Padahal, sudah kucoba untuk melupakannya. Namun, yang ada malah terasa semakin nyata sakitnya. Mungkin, akibat distansi yang terlalu jauh dan temporal yang terlalu lama.
Kemudian, kuparkirkan sepeda keranjangku. Dengan sialnya, selayang ingatan tiba-tiba berputar pada kejadian kami yang bertengkar di sini kala itu.
Iya, saat aku yang ingin pulang sendiri karena Aysel mengungkapkan bahwa dirinya akan pergi. Pergi jauh yang bahkan kepulangannya pun masih diragukan.
Kemudian, kulangkahkan kaki dengan santai di sepanjang jalan Malioboro. Rupanya, tak ada yang berubah. Hanya, terlihat lebih ramai dari malam itu.
Aku jadi ingat saat kami membeli cenderamata di sini, juga menaiki becak saat hujan. Lalu, kuarahkan pandangan pada bangunan Mall di depan.
"Mengapa setiap aku tanya tentang kuliah kamu pasti jawab itu dan raut mukamu berubah?"
"Mungkin itu cuma perasaanmu aja," kelitnya.
"Apa ada yang kausembunyikan dariku?" Aku menatapnya dengan tatapan meminta penjelasan.
"Ah, udah selesai ya makannya? Ayo pulang."
"Kamu belum jawab pertanyaanku!"
"Ayo pulang," dinginnya.
"Jawab! Atau kita tidak akan bertemu lagi untuk selamanya!"
"Percuma aku kasih tau kamu, nggak akan ada yang berubah!"
"Apa susahnya untuk bilang apa yang kamu sembunyikan padaku? Kamu bahkan tidak bisu, Aysel. Kamu mampu untuk mengucapkan itu semua."
"Ayo pulang!" ulangnya yang mulai terlihat kesal. Aku tidak memperdulikannya, kemudian berlari menjauh.
"Rembulan, kamu mau ke mana?" teriaknya sambil mengejarku. Ia, mencekal pergelangan tanganku.
"Aku mau pulang."
"Iya, kita pulang bareng."
"Aku ingin pulang sendiri."
"Jangan bercanda, deh!"
Aku tersenyum kecut ketika kalimat demi kalimat itu bak gaung di kepala. Tak ingin lebih lama lagi memandangi bangunan tersebut, aku memilih untuk kembali melangkah sembari menikmati keramaian di tempat ini.
Perlahan, rinai hujan mulai berjatuhan.
Jika biasanya aku akan berteduh saat bertemu dengan hujan, kini aku memilih untuk tetap berjalan sembari menikmati setiap airnya yang jatuh mengenai kulit.
"Mbak, neduh dulu! Mau hujan gede." Sayup-sayup kudengar suara pria dari arah samping yang menyuruhku untuk meneduh. Namun, aku tak memperdulikannya dan tetap berjalan dengan pandangan kosong. Bahkan, sampai sempat beberapa kali menabrak orang-orang yang tengah berlalu-lalang hingga membuat mereka kesal.
Entah sejak kapan, air mataku sudah merebak. Kuhentikan langkah ini, dan berbarengan dengan itu, hujan benar-benar turun sangat deras. Menghembuskan napas kasar, kemudian memejamkan mata dan mendongak untuk merasakan air yang berjatuhan di wajah.
Maaf, aku menyerah kali ini. Aku benar-benar menyerah untuk berharap semuanya kembali seperti semula. Mungkin, sejak awal sepertinya memang aku yang hanya menaruh rasa. Aku yang terlalu percaya hingga memiliki harapan lebih.
Pada akhirnya, Ia pergi. Benar-benar pergi. Bahkan, aku tak tahu kapan dirinya kembali. Atau mungkin, tidak akan pernah. Lalu, apa gunanya aku menaruh rasa ini hingga bertahun-tahun lamanya jika keadaan masih tetap sama?
Lihat, betapa bodohnya aku sekarang yang mau-maunya diperbudak oleh perasaan sendiri.
Dapat kurasakan jika hujan tak lagi berjatuhan di wajah. Apa sudah reda?
Kubuka kedua mata, kemudian mengerjapkannya berulang kali saat mendapati benda bening yang memayungiku. Segera aku membalikkan tubuh untuk menatap orang itu.
Badanku membeku, rasa sulit untuk respirasi tiba-tiba muncul ketika bersirobok dengan rentinanya. Pahatan parasnya yang begitu menawan sama sekali tak berubah, mungkin hanya terlihat lebih tegas dari sebelumnya.
A-apa aku sedang tidak salah lihat sekarang?
Seseorang yang memayungiku itu mengulas senyum dengan sangat manis hingga membuat bibirku tak hentinya menganga. Senyuman itu, senyuman yang mampu membuat candu untukku. Senyum kotak yang bahkan pertama kali kulihat hanya darinya.
Air mataku semakin mengalir deras. Aku menggeleng cepat. Tidak mungkin, ini pasti hanya halusinasi. Iya benar, ini hanya halusinasi dan bukan nyata!
Aku membalikkan tubuh, lalu berlari secepat mungkin untuk menjauh dari sosoknya. Memang benar aku merindukan dia, tapi tolong jangan membuatku malah jadi berhalusinasi yang berlebihan seperti ini.
Grep!
Dia mencekal bajuku dengan kuat hingga membuatku refleks berhenti, kemudian membawaku ke dalam dekapannya. Dekapan ini, aroma ini, bahkan tidak terasa asing untukku. Isakanku keluar begitu saja, meski tak terdengar karena hujan yang sangat deras.