Rembulan Maheswari

Dee🍓
Chapter #30

29. Cepat sembuh dua pangeranku.

KINI, aku sudah diperbolehkan untuk masuk setelah beberapa jam lalu Aysel ditangani oleh dokter. Laki-laki itu tengah berbaring dengan mata yang tertutup, bibir pucat, serta wajah yang dipenuhi oleh banyak perban. Kuraih tangannya dan membelainya sebentar.

Sekali lagi, aku minta maaf, Aysel. Apakah maaf yang kuucapkan itu bisa menebus semua kesalahanku padamu? Jika tidak, katakan apa yang bisa menebus kesalahanku. Ayo katakan, Aysel!

Mengapa harus melakukan ini? Mengapa kamu yang menggantikan posisiku? Aku tidak apa-apa jika harus tertabrak, asal jangan kamu. Aku tidak mampu untuk melihatmu seperti ini. Aku harus bagaimana sekarang? Maaf, lagi-lagi hanya bisa berkata maaf, kemudian kembali menangis.

"Mmm, maaf ...." Buru-buru kuhapus air mata itu saat seseorang tiba-tiba membuka pintu dan berjalan masuk. "Apa, kamu yang namanya Rembulan Maheswari?" tanya tante Kirana—mamah Aysel. Aku mengangguk membenarkan. Dari mana ia mengetahui namaku?

"Bisa bicara sebentar? Di taman?" Ia tersenyum kecil dan berjalan terlebih dahulu.

Kutinggal dulu sebentar ya, Aysel. Aku kemudian bangkit dan mengikutinya.

"Ini, ada surat yang dari Aysel," katanya, sembari memberikan surat itu padaku. Dahiku sempat tertarik ke atas, namun kemudian menerimanya dengan tangan yang sedikit bergemetar. "Katanya, surat ini untuk cinta pertama dia yang bernama Rembulan Maheswari." Wanita itu tersenyum tipis. "Kamu adalah gadis yang mampu memorakporandakan perasaan Aysel."

Jadi, wanita ini sudah mengetahuinya?

"Selama di Amerika, Aysel sudah seperti mayat yang berjalan dengan penampilannya tidak karuan. Setiap hari, selalu memperhatikan fotomu dan menangis. Tidak pernah Tante lihat Aysel menangis sesakit itu. Sebegitu terluka dirinya selama ini."

Mulutku sedikit menganga karena tak percaya? Apa katanya? Boleh minta kuulang sekali lagi setiap kata per katanya?

"Sebenarnya, Tante tidak tega melihatnya seperti itu, tetapi harus bagaimana lagi karena ini adalah perintah dari Papahnya jika ia harus kuliah di sana. Aysel bahkan sempat mogok makan hingga sakit berminggu-minggu hanya karena merindukanmu."

Benarkah? Berarti, selama ini bukan hanya aku saja yang merasakan hal itu?

Tante Kirana mulai menceritakan semuanya. Tetang dirinya yang menyuruh anak pertamanya untuk membujuk sang suami agar laki-laki itu diperbolehkan untuk menemuiku.

Dan, satu hal yang membuatku begitu terkejut. Yaitu, tentang dia yang diperbolehkan ke Indonesia dengan waktu satu minggu. Ternyata, Aysel sudah pernah mencoba untuk menemuiku. Namun, hanya dua hari, lalu kembali lagi ke Amerika karena mengira bahwa aku memiliki penggantinya.

Apa yang dikira itu adalah Satya?

Ya ampun, bahkan untuk melupakanmu saja aku tak mampu. Lalu, bagaimana bisa aku bisa mencari penggantimu?

🌑🌑🌑

Tadi Bunda telepon, katanya Ayah sakit. Aku pamit dulu untuk menjenguknya, ya. Hanya sebentar saja, tidak akan lama, kok.

Kemudian, kukecup punggung tangannya itu.

Mengapa harus terasa sesulit ini untuk meninggalkannya. Akan tetapi, aku tidak memiliki pilihan lain. Aku beranjak dari kursi dan beralih mengecup dahinya.

Sudahlah, tak ingin lebih lama lagi memandanginya yang semakin membuatku merasa bersalah. Lalu memilih berjalan keluar dengan langkah yang berat.

"Lan, kamu beneran mau pulang ke Jakarta?" Aku mengangguk.

"Selama aku pergi tolong jaga Aysel, ya!" pintaku. Meisie terdiam tak mengerti.

"Katanya, selama dia pergi, tolong jaga Aysel," suara Satya yang berada di sampingku.

"Pasti, aku pasti bakal jagain Aysel, kok. Nanti, kalau dia udah sadar, aku bakal kabarin kamu." Segaris bibirku terangkat kecil.

"Ayo, Lan. Keburu ketinggalan nanti," ajak Satya. Ah iya, dia yang mengantarkanku ke bandara. Aku mengangguk, tak lupa juga untuk pamit dengan kedua orang tua Aysel dan kakaknya.

Setelah itu, kami berdua pergi menuju parkiran. Ia memberikan helm padaku. Kutatap sekali lagi bangunan rumah sakit itu. Menghela napas kemudian menaiki motor Satya.

Aku pamit dulu, Aysel. Kuharap, saat kembali nanti kamu sudah pulih ya.

Tak lama, kami sampai di bandara.

"Kalau begitu, aku masuk dulu," pamitku.

"Hati-hati di sana, jaga dirimu baik-baik. Nanti, kalau Aysel udah sadar, bakal kukasih tau." Aku sedikit terkejut saat lelaki itu berbicara dengan menggunakan aku-kamu.

"Iya, terimakasih." Saat hendak melangkahkan kaki, Satya tiba-tiba menarik pergelangan tanganku.

"Ada apa?"

"Mmm, tunggu dulu." Laki-laki itu mencari sesuatu di tasnya dan mengeluarkan sebuah paper bag, kemudian membuka isinya.

Syal.

"Aku pakein, ya?" Kepalaku mengangguk. Tangannya lalu bergerak untuk memakaikan syal itu padaku. "Malam ini dingin banget dan tadi nggak sengaja liat ini, jadi langsung keinget sama kamu," katanya.

Aku tersenyum kecil. "Terimakasih." Ia mengangguk. Setelah itu, kulambaikan tangan padanya lantas berjalan masuk ke dalam bandara.

Sesulit ini rasanya.

"Aku di sini, Bulan." Suara itu? Suara itu mengapa terdengar begitu tidak asing di telingaku.

Buru-buru kubalikkan tubuh untuk menatap laki-laki jangkung tersebut dengan berbinar. Spontan memeluknya, menumpahkan air mata di pakaiannya. Ia membalas pelukanku. Beberapa saat kemudian, memegang kedua bahuku hingga membuat sedikit jarak di antara kami.

"Lan, udah ya, jangan nangis lagi. Aku nggak apa-apa kok, aku baik-baik aja." Aysel menangkupkan kedua tangan pada pipiku sambil menghapus air mata yang berjatuhan, lalu mencoba untuk tersenyum tulus.

"Kamu nggak usah khawatir sama keadaanku sekarang. Aku udah bahagia kok di sini. Kamu jangan nangisin aku lagi, ya. Kamu nggak pantes buat nangis! Kamu pantesnya tersenyum," lanjutnya dengan suara lembut.

Aku menggeleng kuat, kemudian menggerak-gerakkan kedua tangan di udara. "Tidak, Aysel. Kamu tidak boleh di sini! Kamu harus ikut aku. Kita mulai dari awal lagi, ya." Aku menarik tangan kirinya untuk pergi, namun langkahku terhenti kala tidak ada pergerakan sama sekali dari Aysel.

"Kenapa?" tanyaku yang jadi ikut terhenti. Aysel menggenggam kedua tanganku, lalu membawa tubuh ini ke dalam dekapan hangat yang begitu candu bagiku, membuat air mataku semakin bercucuran.

"Hey, jangan nangis lagi." Dia membelai lembut kepalaku. "Aku nggak bisa ikut kamu, Bulan. Karena ini tempatku yang sekarang." Aku menggeleng. "Tapi, aku bakal selalu ada di hati kamu," lanjutnya, tak lupa juga dengan senyuman kotak yang mengiringi.

"Tidak! Kamu tidak boleh bicara seperti itu! Kamu sudah janji denganku jika kamu akan menjadi fajar untukku! Aku mohon. Aku janji tidak akan nakal lagi dan akan menjadi gadis yang selalu menuruti apa kata-katamu. Yang akan selalu menunggumu sesabar aku menunggu senja dan pelangi datang." Kupeluk dengan semakin erat tubuhnya.

Lihat selengkapnya