SUDAH tiga minggu Aysel tidak sadarkan diri. Hal itu, membuatku semakin merasa bersalah padanya. Bahkan kata dokter, kemungkinan kecil untuknya bisa bertahan hidup lagi.
Kini, aku sudah layaknya mayat hidup. Berjalan tanpa arah dengan tatapan kosong dan penampilan yang tak karuan karena kantung mata yang menghitam serta bibir yang kian memucat.
Aku sedang duduk di kursi taman, melirik ke arah jam tangan yang ternyata sudah menunjukkan pukul delapan malam. Kemudian mendongak, menatap lagit malam yang tengah menampakkan bulan serta bintangnya.
Bolehkah aku menjadi salah satu diantara mereka? Agar tak perlu merasakan luka sebegini sakitnya. Agar tak merasakan beratnya beban hidup yang kualami. Aku ingin seperti mereka.
Kemudian, memejamkan kedua mata hingga membuat cairan being itu meluncur dari tempatnya. Aku menangis dan terus menangis.
Demi apapun, lelah sekali rasanya ketika seperti ini. Namun, aku benar-benar sudah tidak kuat lagi karena rasanya yang sangat menyakitkan. Aku bisa untuk bersikap seolah sedang baik-baik saja, tetapi tidak untuk tidak menangis.
Jadi, aku harus bagaimana sekarang?
Kurasakan semilir angin yang menerpa wajah hingga mampu meredakan sedikit rasa sesak di dada.
Ah iya, aku jadi teringat tentang surat yang diberikan oleh tante Kirana tiga minggu lalu. Belum sempat kubuka karena setiap kali menatapnya hanya mampu menambah luka yang kian dalam.
Aku merogoh saku celana.
Eh, kenapa tidak ada?
Di mana aku menyimpannya ya waktu itu? Lantas, jari-jariku bergerak untuk mencari di tas selempang yang kukenakan. Ternyata, ada di sana.
Menghembuskan napas kasar, kemudian mencoba untuk membukanya dengan tangan bergemetar. Oh Tuhan, rasanya aku masih tak sanggup. Malah, belum apa-apa saja rasa sesak kembali menghantam dada.
Untukmu, Rembulanku.
Kudengar, akhir-akhir ini kamu dekat dengan seseorang, ya? Apa, kamu memiliki perasaan padanya? Apa posisinya sudah menggantikan aku di hatimu? Kuharap tidak.
Sebenarnya, sangat sulit bagiku untuk mengatakan ini. Namun, aku cemburu pada keadaanmu yang bahagia tanpaku, Bulan.
Aku cemburu pada malam-malam yang tak kuhabiskan bersamamu.
Bulan ....
Kamu bukanlah gadis cacat seperti yang selalu kamu katakan padaku. Kamu istimewa. Bahkan, kamu sempurna di mataku. Kamu mampu membuatku cemburu dengan hujan yang jatuh berkali-kali mengenai kulitmu karena dia lebih dekat denganmu ketimbang tanganku dahulu.
Aku cemburu pada hujan yang berjatuhan di pakaianmu, karena dia lebih dekat denganmu ketimbang bayanganku.
Aku selalu berharap kamulah hal terbaik yang diberikan oleh bumi untukku. Dan, apakah kamu ingat dengan apa yang kukatakan saat aku pergi waktu itu?
"Tunggu aku seperti kamu yang selalu setia menunggu senja datang."
Masih ingat?
Katakan padaku, bahwa yang kautemukan hanyalah patah hati serta kesedihan selama menungguku! Iya, kan?
Maaf, aku hanya bisa memberikan luka pada gadis yang kucintai. Aku mencintaimu, Bulan. Sangat mencintaimu.
Maaf ....
Lagi-lagi, aku hanya bisa mengucapkan kata maaf padamu. Aku laki-laki pengecut yang hanya mampu mengucapkan bahwa aku mencintaimu tetapi tidak mampu memberikan kepastian padamu. Karena aku tidak ingin melihatmu terluka, meski nyatanya aku membuat luka yang begitu banyak di hatimu.
Bulan,
Jika suatu saat nanti aku benar-benar pergi dan tak akan kembali, tolong untuk tidak melupakanku seperti pesanku dulu. Apa kamu masih mengingatnya.
Ya, kuharap begitu.