Seorang perempuan bersurai legam panjang dan berombak tiada jemu memandangi awan kelabu yang mengepung langit Bumi Sriwijaya atau tanah Palembang. Rintik sendu sang kelabu bahkan telah tumpah dan jalanan mulai basah karenanya. Sesekali netranya yang beriris coklat bak madu akasia itu meniti tepi jalanan, selepas mobil tua buatan Jerman yang ditumpanginya meninggalkan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Untuk kali pertamanya Galuh menginjakkan kaki di tanah orang, kali pertamanya ia meninggalkan tanah Jawa, dan kali pertamanya pula ia meninggalkan perempuan berusia tua yang selalu ia panggil “Mbah.”
Berat hati sebenarnya untuk meninggalkan tanah kelahirannya yang dikenal sebagai kota rokok dan tahu itu. Berat hati pula, kala ia harus meninggalkan perempuan berusia renta yang telah merawatnya sejak bayi. Namun, kepergiannnya dari tanah Jawa menuju tanah Palembang bukanlah tanpa suatu alasan. Ia hanya berharap dapat menutup semua luka lama dan membuka lembaran baru di kota yang digadang-gadang sebagai kota tertua di Indonesia itu.
Menempuh perjalanan tak terlalu panjang dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, akhirnya mobil yang ditumpangi Galuh berhenti di kediaman Paman dan Bibi angkatnya. Sebuah kediaman sederhana yang dibalut cat berwarna merah manggis juga putih terlihat sempurna di matanya. Bebungaan tertata rapi dan terlihat terawat dengan baik menghiasi taman kecil yang berada di depan kediaman berukuran tak terlalu luas itu.
“Galuh, kita sudah sampai.” Suara pria paruh baya yang tak lain tak bukan adalah Sajono, pamannya itu menyapa indera pendengaran Dewi Galuh. “Ayo kita turun! Bibimu pasti sudah menunggu,” tambahnya.
Dewi Galuh mengangguk dan beranjaklah ia dari dalam mobil. Kaki jenjangnya membawanya beranjak dari mobil ke kediaman dominan merah manggis itu. Kediaman yang akan ia tinggali dalam waktu lama.
Kali pertama Galuh menginjakkan kaki di dalam kediaman dengan balutan cat merah manggis itu, aromaterapi dari kopi menyapa indera penciumannya. Ia tahu betul bahwa Paman dan Bibinya menyukai kopi. Saat masih kecil, ketika Paman dan Bibi angkatnya berkunjung ke Kediri seringkali membawa kopi robusta dari Sumatera Selatan. Sumatera Selatan memang merupakan provinsi penghasil kopi terbesar di Indonesia, terutama kopi robusta dari daerah Pagar Alam dan Lahat. Meski Sumatera Selatan menjadi provinsi dengan penghasil kopi terbesar di Indonesia, mengapa Indonesia masih acapkali mengimpor kopi dari negara lain? Galuh sering bertanya-tanya perihal itu.
“Sudah lama sekali tidak bertemu, Luh! Bibi kangen sama kamu.”
Suara perempuan paruh baya menggugah lamunan Galuh. Senyum sumringah dan hingar-bingar sang bibi menyita perhatiannya. Satu rengkuhan hangat dapat Galuh rasakan.
“Galuh juga kangen sama Bibi.”
Galuh menarik kedua sudut bibirnya penuh ketulusan sembari membalas dekapan dari perempuan paruh baya itu. Sudah lama sekali Galuh tiada berjumpa dengan perempuan paruh baya yang selalu ia panggil Bibi itu. Terakhir kali Galuh bertemu dengan Paman dan Bibinya saat ia masih kecil, duduk di bangku SD dan sejak saat itu keduanya tak pernah bertandang ke Kediri lagi.
Saat itu, Paman dan Bibinya mengatakan akan berusaha untuk memiliki momongan. Sayangnya usaha demi usaha yang telah dilakukan tiada membuahkan hasil. Ia juga dengar, Bibinya bahkan sering mendapatkan cacian dari keluarga laki-laki karena tak mampu memberikan momongan.
Apakah salah jika dalam sebuah keluarga tidak memiliki momongan? Dan mengapa selalu perempuan yang acapkali disalahkan perihal seperti itu? Bukankah tidak adil jika hanya perempuan yang sering disalahkan, padahal dalam sebuah hubungan ada perempuan dan laki-laki. Benak Galuh menjadi berombak bak lautan penuh badai kala mengingat masa kelam yang ia dengar dari nenek angkatnya beberapa tahun silam itu.
“Bibi harap kamu betah di sini, Luh. Paman dan Bibi akan selalu melindungi kamu dan akan membantu kamu sampai kamu pulih.” Perempuan paruh baya itu kembali berucap usai melepaskan dekapannya menghentikan ingatan Galuh. Satu usapan pun diberikan pada pipi sawo matang Galuh.
“Semoga, Bi.” Sekali lagi senyum manis terkembang di bibir Galuh. Netranya yang tajam itu kian teduh dan perasaan hangat menjalar di dadanya. Ia sebatang kara, ia ditinggalkan, atau bahkan ia adalah anak yang tidak diharapkan. Namun keberadaan nenek, bibi, dan paman angkatnya adalah anugerah baginya. Keberadaan mereka seolah menjadi terang surya dalam jalanan berkabut juga temaram dalam kehidupan Galuh. Galuh tak pernah tahu bagaimana hidupnya tanpa keberadaan mereka.