REMBULAN YANG HILANG

Sri Wahyuni Nababan
Chapter #1

Chapter tanpa judul #1

Suara berisik dari musik diskotik mampu membuat telinga Nuha sakit seakan ditusuk benda tajam. Bukan untuk pertama kalinya bersenang-senang di tempat bising itu, tapi ini adalah ketiga kalinya. Tidak hanya bising, tapi juga sangat terlarang untuk remaja seusia mereka.

Teman-temannya selalu mengajak setiap Sabtu atau Minggu. Awalnya dia sangat menolak permintaan teman-teman nakalnya, karena di rumah selalu menjadi bahan kemarahan oleh keluarga, akhirnya mau.

"Huhuy, kita happy, Bestie! Happy!" seru Kinan dengan suara keras, agar terdengar oleh teman-temannya.

"Harus, dong! Hidup ini nggak perlu ribet. Kalau ada beban, tinggal gas ke mari. Yang penting bikin pikiran enjoy!" sahut Febby dengan berjoget tangan di atas.

Nuha juga menikmati musik disko tanpa mengomentari ucapan teman-temannya. Dalam benaknya, akan ada kemarahan dari orang tuanya bila nanti ketahuan. Papanya yang benar-benar tegas dan kasar padanya, akan memberi pelajaran dengan cara apapun sampai puas. Namun, Nuha tak peduli dengan ketakutannya, lantaran saat ini dia memang merasa enjoy dan happy.

Tiga jam berlalu, mereka sudah merasa lelah dengan berjoget ala-ala anak remaja. Semangat untuk memuaskan diri sudah terlaksana. Saatnya keluar dari gedung terlarang, lalu pulang.

Kinan, Desi, Marko, dan Febby sudah berada di depan rumah Nuha. Mobil yang dikendarai oleh sopir grab kembali pergi setelah Nuha memasuki pagar rumah.

Sebelum Nuha sampai ke mulut pintu, Herman, papanya, sudah berdiri sembari berkacak pinggang. Wajahnya terlihat galak. Itu wajar, karena hari sudah hampir gelap.

"Dari mana kamu?!" tanya ayahnya dengan membentak.

"A-aku ... aku barusan pulang dari seko--"

"Sekolah apa pulang jam begini?! Jangan alasan kamu!" balas Herman dengan memotong pembicaraan putrinya.

"Aku beneran, tadinya ada ekstrakulikuler, Pa," jawab Nuha dengan suara gemetar.

"Diam! Sudah beberapa minggu ini Papa perhatikan, kamu selalu saja pulang jam segini! Alasan ekstrakurikuler, tapi main, kan?!"

"Bu-bukan, Pa. Aku--"

Tanpa mau lagi mendengar alasan Nuha, Herman melekatkan telapak tangan dengan keras. Begitulah yang sering diterima remaja tersebut saat papanya tersulut emosi.

Dengan rasa sakit, Nuha menangis seraya masuk ke dalam rumah. Kamar menjadi tempat pengaduan. Sebelum menutup pintu kamar, daun pintu didorong hingga terbuka kembali.

"Dari mana kamu?!" Mamanya memelototi Nuha.

"Aku ekstrakulikuler, Ma," jawabnya, sama dengan jawaban pada papanya tadi.

"Kamu bohong! Setiap hari kamu selalu berbohong! Mau jadi apa kamu pulang jam segini, ha?!"

Nuha tak mau lagi menjawab. Baginya tamparan yang dilakukan papanya tadi sudah cukup menghukumnya. Jadi, kemarahan mamanya tak lagi ditanggapi dengan kesedihan. Kesehariannya mampu membuat dirinya jenuh dan tak mau lagi menjadi anak baik.

"Kamu nggak dengerin Mama? Kamu mengabaikan apa yang Mama bilang?!"

"Ma, aku beneran. Tadi--"

"Diam kamu! Jangan bohong sama Mama!"

Karena terus tak dipercaya, Nuha mendorong pintu agar tertutup rapat. Tenaga yang dimiliki Nuha, akhirnya pintu tertutup tanpa ada saling dorong dengan mamanya.

Melihat sikap putrinya kian hari kian tak terkontrol, tentu saja mengundang kemarahan. Segala makian dilontarkan demi melampiaskan emosi.

Lihat selengkapnya