Sukses memiliki banyak arti dan berbeda untuk setiap persepsi orang, salah satunya adalah tidak bergantung lagi pada orang tua. Sudah cukup beberapa tahun hidupnya menerima asupan materi dari orang tua. Kini, meski tidak berlebihan, ia sudah cukup mampu hidup mandiri dan mampu memberi ke orang tua di kota lain. Tidak seperti di novel-novel yang tokohnya tinggal di apartemen mewah dengan gaji puluhan juta, hidup bergelimang harta, punya pekerjaan bergengsi dan sebagainya. Ia memang tinggal di apartemen kecil yang awalnya ia sewa namun sekarang ia cicil setiap bulan dengan nominal yang lumayan mencekik rekening gajinya. Eshal sudah meraih satu sukses dalam hidupnya. Bekerja di bidang yang ia inginkan.
Eshal Riadela Azzahra. Ia memiliki banyak impian yang sudah ia rancang sejak masa awal sekolah menengah atas. Kuliah di jurusan dan kampus impian, tamat kuliah tepat waktu, bekerja di perusahaan bagus, mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk orang tuanya lalu untuk pernikahannya dan tabungan setelah ia menikah, setelah itu ia akan resign dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga yang selalu ada untuk keluarga. Tersusun rapi dan terencana. Hingga badai itu datang dan menghapus sebagian impiannya. Tidak semua, tapi impian utama harus ia relakan. Bahkan beberapa rencana hidupnya harus ia ganti.
Eshal akan menggunakan fasilitas apartemen untuk berolahraga di Sabtu pagi seperti biasa. Ada kolam renang, gym, jogging track dan lainnya. Renang, ia memilih air untuk menenangkan otot dan otak yang seminggu penuh tekanan dengan pekerjaan yang tidak ada hentinya. Cukup membilas dan pemanasan, berenang dengan gaya apapun selama 30 menit. Cukup untuk membakar kalori walau pekerjaannya juga butuh kalori yang banyak, tapi setidaknya kegiatan ini tanpa tekanan. Puas berendam di air, ia membilas sekedar dan kembali ke apartemennya di lantai 12.
Kini gadis berambut sebahu sudah sibuk di dapur kecil miliknya. Memasak untuk makan siang dan makan malam. Selama hidup sendiri di perantauan, kemampuan memasaknya meningkat, dari yang hanya bisa goreng nugget dan telur, lalu tumis-menumis menjadi makanan bersantan. Apalagi dessert yang dibuatnya, pasti selalu habis, laris manis.
Eshal menghidupkan televisi tanpa berniat untuk menonton, hanya agar tidak sepi. Ia mengambil laptop kemudian mengerjakan pekerjaan untuk esok hari agar ia tidak perlu lembur, mengingat Senin besok ia akan ada beberapa meeting yang menyita waktu. Lama di depan laptop, Eshal menerima email untuk akunnya yang lama. Dua hari lalu. Dari notifikasi tersebut, rasanya Eshal tidak ingin membuka apalagi membacanya. Seperti ribuan email yang ia abaikan. Namun subject email tersebut cukup untuk membuatnya menahan nafas selama 7 detik.
To : azzahra.eshalr@gmail.com
From : jmarya@gmail.com
Subject : Elan Koma
Terserah lo, Shal. Ini email kesekian ratus yang gue kirim untuk lo. Gue udah nyerah untuk komunikasi sama lo. Kalo lo gak balas ini email, itu hak lo dan gue janji, gak akan ganggu lo lagi dan ini komunikasi kita yang terakhir. Gue to the point aja, Elan koma. Sejak 2 hari lalu. Di Yogya, di RS dekat rumah Ibuk. Gue yakin lo masih ingat.
Gue bilang ini bukan untuk cari simpati dari lo. Gue cuma gak mau nyesel karena gak sampein amanat dari keluarga Elan.
Elan terus panggil nama lo, Shal. Sebelum koma dia berharap lo datang. Cukup datang, gak perlu bertemu atau bicara. Yang penting lo datang dan dia tau lo ada di dekatnya. Tapi keluarganya minta lo bantu doa aja, Cuma doa yang mereka minta karena mereka tau lo temen Elan juga. Kami udah capek bohong sama mereka bilang lo terlalu sibuk, lo di luar negeri, lo lagi ini itu sampai gak bisa datang. Padahal kita-kita gak tau lo ada dimana.
Gue harap lo sehat dimanapun lo berada. Bye.
Sialan.
Air matanya jatuh tanpa di duga. Kabar buruk ? Atau kabar baik ? Rasa itu masih ada. Eshal tidak bisa bohong, ia juga tidak bisa lepas dari masa lalunya. Buktinya ia masih mau membuka email dan terkadang menanti kabar dari email tersebut.
Dan sekarang ia memesan tiket secara online untuk langsung ke Yogyakarta secepatnya. Memastikan dengan mata kepala sendiri kondisi pria yang menghancurkan masa depannya. Seperti apa masa depan pria itu setelah apa yang ia perbuat.
***
Tidak perlu berlari, jalan saja perlahan. Tenang, tarik nafas, buang, tarik, buang. Racaunya dalam hati. Ia tiba dirumah sakit setelah check-in dan berdiam diri di depan lobi hotel tanpa melakukan apapun hanya karena ragu memesan taksi. Dan kini ia pun hanya diam mematung di depan resepsionis untuk menanyakan nomor kamar pasien. Sejenak ia ragu, sejenak ia yakin, sejenak ia merasa bodoh hanya karena email tersebut ia langsung terbang ke Yogyakarta. Bodoh.