Remedy

Rima Selvani
Chapter #4

Nightmare

Apa benar kamu sosok yang selama ini aku cari?

-Reina

___________________________________________

"Awas!!!"

Teriak Reina saat menyadari ada satu mobil yang berjalan kencang ke arah lelaki yang ada di hadapannya sekarang. Lelaki yang ia teriaki tak mendengar sama sekali karena menggunakan earphone yang khusus Reina berikan untuknya sebagai hadiah ulang tahun. Tanpa menghabiskan waktu lebih lama lagi, Reina bergegas berlari ke arah lelaki yang tadi ia peringati. Mendorong tubuh lelaki itu dengan keras menghindari mobil semakin lama mendekat. Namun naas, Reina tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri dan mengakibatkan tubuhnyalah yang dihantam oleh mobil yang melaju kencang itu. Rasa sakit menjalar keseluruh tubuhnya saat sama-samar ia mendengar seorang lelaki yang tadi ia selamatkan memanggil namanya berulang kali.

"Untunglah kamu selamat," ucap Reina dengan setengah kesadarannya yang tersisa. Setelah berucap seperti itu, matanya terasa berat dan semuanya mendadak gelap.

Reina terbangun dari tidurnya dengan keringat bercucuran dan nafas yang tak beraturan. Lagi-lagi ia harus mengalami mimpi buruk, dan mimpi itu selalu saja tentang kecelakaan. Ia memejamkan mata kembali mencoba menangkan dirinya, namun bayangan mimpi yang ia alami tadi membuatnya tak bisa kembali memejamkan mata. Tak seperti mimpi-mimpi sebelumnya, hari ini Reina justru bermimpi ialah korban tambarakan itu. Padahal biasanya mimpi yang ia alami hanya reka adegan ketika ia melihat di depan matanya sendiri kakak lelakinya kecelakaan dua tahun lalu. Setelah kecelakaan yang dialami Reno dua tahun lalu hingga merenggut nyawanya, Reina terus-terusan bermimpi buruk yang sama.

"Angkasa," tanpa sadar, Reina menyebut nama seseorang yang baru kemarin ia kenal tapi terasa tak asing.

Reina melihat jam dinding yang ada di kamarnya, jam sudah menunjuk ke angka empat. Itu tandanya sudah dua belas jam lebih berlalu setelah Angkasa mengantarkannya sampai ke depan rumah. Berbicara soal Angkasa, entah kenapa untuk kali ini setelah bangun tidur orang pertama yang Reina pikirkan adalah Angkasa. Padahal, Reina saja baru tau Angkasa kemarin dan itu juga sebatas Angkasa yang mengantar Reina sampai rumah lalu langsung pulang. Di perjalanan pulang, mereka juga tidak berbicara apapun, sampai rasa bosan menelan Reina masuk ke alam mimpi. Baik Reina ataupun Angkasa tak ada yang mau mengeluarkan suara. Bahkan saat sampai di tujuan, Reina hanya mengucapkan terimakasih yang dijawab Angkasa dengan anggukan lalu segera berlalu meninggalkan Reina yang masih berdiri di depan pagar rumanya. Setelah melihat mobil Angkasa menghilang di pengekolan Reina bergegas masuk ke dalam rumah dan baru menyadari bahwa kini ia mengenakan jaket. Jaket milik Angkasa.

💊

"Tumben, kamu udah bangun jam segini. Sekarang sekolah liburkan?"

Reina yang sedang memasak di dapur, menoleh ke arah Tina -ibunya yang baru saja bertanya. Seperti yang ibunya tadi katakan, Reina memang jarang sekali bangun pagi di saat hari libur. Tetapi, karena mimpi buruk tadi, mengakibatkan Reina tak bisa lagi memejamkan mata untuk melanjutkan tidur. Rasa kantuknya kalah dengan rasa takutnya akan mimpi buruk itu. Entahlah, Reina tak tahu apa arti dari mimpi itu. entah karena rasa bersalahnya yang tak bisa menyelamatkan kakaknya,atau karena hal lain. Hal terpenting bagi Reina sekarang adalah terbebas dari semua rasa sakit yang dideritanya.

"Laper ma," jawab Reina. Ia sengaja berbohong karena tak ingin ibunya khawatir. Jika ibunya tau Reina mengalami mimpi buruk dua tahun belakangan ini, bisa-bisa ibunya membawa Reina lagi ke psikiater. Ia tak gila, jadi tak perlu dibawa kesana.

Semua masakan yang telah ia siapkan dari jam enam pagi tadi selesai, Reina langsung menata makanan di atas meja dibantu oleh ibunya. Setelahnya mereka berdua duduk berhadapan dan makan bersama.

"Gimana sekolah kamu? Ada yang kamu naksir gak?" tanya Tina.

Reina berhenti mengunyah makanannya mendegar pertanyaan yang tak masuk akal menurutnya. Ia tahu, pertanyaan itu adalah candaan yang sengaja ibunya lontarkan agar situasi tidak terlalu kaku, tapi entah kenapa hal itu justru membuat mood Reina memburuk. Reina meletakkan sendok yang ia genggam ke piring, menenggak air yang ada di hadapannya lalu menatap lurus ke arah ibunya.

"Mama masuk kerja jam berapa?" tanya Reina sengaja mengalihkan pembicaraan. Percuma, jika ia menjawab justru akan memperburuk hubungannya dan Tina. Reina tak ingin itu terjadi, karena yang ia punya kini hanyalah ibunya.

"Ini, habis sarapan mama berangkat"

Tring!!!

Berbarengan dengan jawaban mamanya, ponsel pintar Reina berbunyi menandakan ada pesan masuk. Reina langsung membuka aplikasi whatsapp lalu membaca pesan dari Dirga, sahabatnya.

Lihat selengkapnya