I don’t want to lie
But, i have to
-Angkasa
Angkasa Putra Anggara
Sepasang mata indah yang tertutup dan dihiasi dengan bulu mata lentik itu mulai bergerak. Rasanya, jika boleh memilih ia ingin seperti ini saja. Menutup mata selama-lamanya. Hidup ini terlalu berat. Belum tuntas dengan penyakit aneh yang mengganggunya, kini ia harus kembali dipusingkan perihal masa lalu yang belum tuntas. Reina tak tahu, kesalahan apa yang ia lakukan dulu, hingga masalah bertubi-tubi ia dapatkan.
“Aku kenapa ma?”
“Kamu pingsan,” Tina jelas saja sangat panik saat baru beberapa menit ia meninggalkan putri kesayangannya berkutat dengan masalalu gadis itu justru jatuh pingsan. Harusnya tak usah Tina beritahu. Harusnya ia tutupi, seperti empat tahun belakangan ini.
Reina melihat sekeliling. Ia masih berada di tempat terakhir kali dia sadar. Ia...kamar ibunya. Reina masih berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum ia pingsan. Ia ingat semuanya, lalu menoleh kanan dan kiri, mencari album foto yang ia jatuhkan tadi. Namun, matanya tak menangkap sedikitpun atensi benda yang ia cari.
“Ma, album foto tadi mana?” tanya Reina. Ia yakin sekali, buku itu terjatuh di samping tempat tidur.
Tina menghela nafas. Melihat Reina yang masih peduli dengan album foto lama itu membuatnya sedih. Terlebih melihat bibir pucat pasi milik Reina. “Bukunya mama simpan,” ucap Tina datar. Tina tak ingin anaknya terluka lagi.
“Badan kamu panas banget, kita ke rumah sakit ya sayang,” ujar Tina sengaja mengalihkan pembicaraan.
Reina menggeleng. Ia pikir sekarang bukan saatnya untuk itu, yang terpenting baginya sekarang adalah mengetahui siapa orang yang ada di album foto itu dan apa hubungannya dengan Angkasa. Reina harus segera mencari tahu kenapa wajah mereka berdua begitu mirip “atau orang yang di foto itu memang benar Angkasa,” ucap batin gadis itu.
Reina menatap ibunya. Berusaha memohon dengan tatapan mata. Setidaknya dulu saat ia masih kecil cara ini ampuh untuk meluluhkan hati ayahnya dan memberikan apa saja yang Reina inginkan. Reina harus segera mencari tahu.
“Aku butuh itu ma, please,” Kali ini, tatapan mata menyedihkan itu tak mempan. Mungkin memang tak pernah mempan bagi Tina. Oleh karena itu, Reina harus kembali memohon agar ibunya segera memberikan apa yang ia minta.
“Kalau mama kasih, kamu janji gak bakalan sedih?” tanya Tina.
Reina mengangguk. Setelahnya, Tina berjalan menuju lemari tempat ia menyimpan album foto itu dan memberikannya kepada Reina.
“Makasih ma,” ucap Reina, tersenyum sangat tulus.
Reina terdiam sesaat. Berusaha mengingat kenangan tentang foto ini. Namun nihil, ia tak bisa mengingat apa-apa.
“Aku gak ingat sama sekali tentang hal yang aku lalui di foto itu, apa yang sebenarnya terjadi, ma?” Reina merasa kebingungan. Kenapa ia bisa lupa tentang kejadian di album foto itu beserta orang yang bersamanya.
Reina mendengar Tina mengehela nafas pelan. “Empat tahun yang lalu kamu mengalami kecelakaan. Kata dokter saat itu, kamu mengalami Amnesia”
“Tapi kenapa aku ingat semua tentang masa kecilku? Kenapa Cuma ingatan tentang kecelakaan yang aku lupakan?” Reina tak terlalu paham tentang dunia kedokteran, jadi jelas saja ia merasa kebingungan.
“Kamu tau Rein, ada jenis amnesia yang hanya membuat seseorang melupakan sebagian ingatan. Mungkin itu yang kamu alami. Mama gak tau kenangan apa yang kamu lupakan, tapi satu pesan mama. Jangan karena masalalu yang kamu lupakan itu, kamu jadi mengabaikan kebahagiaanmu hari ini. Masa sekarang dan masa depan kamu lebih penting sayang...”
Reina mengagguk, ia paham maksud dari perkataan ibunya. Reina pun juga ingin begitu, tetapi masalalu yang belum tuntas itu seakaan mengahantuinya, membuatnya tak fokus untuk menghadapi masa sekarang. Karena itu lah, Reina ingin menuntaskan segala masalalu yang sampai saat ini masih belum ia ketahui.