Remedy

Rima Selvani
Chapter #8

Injury

Aku sedang belajar menerima semuanya,

meski aku tau beberapa dintara mereka menyakitiku begitu dalam

-Reina

“Gue butuh bantuan lo!”

Vino yang tengah sibuk dengan bacaannya tiba-tiba saja diganggu dengan kehadiran Elang. Lelaki itu tiba-tiba saja duduk di depannya lalu menarik kaca mata yang ia gunakan. Semua mata di perpustakaan langsung saja tertuju pada mereka berdua. Bukan karena Elang yang tiba-tiba datang dengan suara lantang, melainkan karena kedatangan Elang dan wajah tanpa kacamata Vino menarik perhatian para gadis yang berada di perpustakaan.

Vino mendengus. Ia kesal karena Elang yang tiba-tiba mendekatinya, ia tak ingin kedekatannya dengan Elang menarik perhatian. Secepat kilat, ia merebut kacamata milikinya yang ada ditangan Elang, memakainya lalu segera keluar dari perpustakaan. Elang mengikuti pergerakan lelaki tampan berkacamata itu.

“Lo butuh bantuan apa?” tanya Vino.

Kini mereka sedang berdiri di koridor sekolah yang sepi. Vino memang sengaja memilih tempat sepi seperti ini agar tak banyak orang yang tahu jika ia dan Elang berteman, bahkan sangat dekat.

“Lo punya nomor Reina gak?”

Vino menggeleng. Tentu saja itu jawaban yang sudah pasti akan Elang dengar, karena ia tahu betul bagaimana Vino. Lelaki itu, takkan ingin berhubungan dengan orang-orang yang bisa dibilang cukup terkenal. Tetapi, apa salahnya Elang coba bertanya. Bisa saja, menyimpan nomor Reina adalah satu pengecualian khusus bagi Vino.

“Emang buat apaan sih?” tanya Vino.

Jujur saja, ia sedikit penasaran dengan hubungan kedua orang itu. Apalagi kini ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Elang yang terlihat panik.

“Reina gak kelihatan dari tadi. Ini kan hari kedua gue sama dia pacaran. Ya kali gak pamer,” ujar Elang. Lelaki itu terkekeh setelah menjawab pertanyaan Vino. Karena hal itu memang lucu menurutnya. Ia tak ingin kelihatan terlalu mengkhawatirkan Reina. Meski pikirannya kini tengah penuh dengan gadis berparas cantik itu, entahlah... ia punya firasat yang buruk tentang Reina.

“Lo kan deket banget tu sama guru-guru di sekolah, termasuk sama guru tata usaha. Bisa gak lo minta nomor hpnya Reina, terus telfon dia. Gue lupa bawa hp,” lanjutnya.

Vino adalah sahabat Elang, ia telah mengenal lelaki itu lumayan lama. Ia bisa melihat mata sahabatnya itu yang memancarkan kekhawatiran. Tanpa menunggu lama, Vino langsung melangkah ke ruang tata usaha dan Elang masih setia mengikuti.

“Bu Tina dimana pak?” tanya Vino pada salah satu guru yang kini berada di ruang tata usaha. Mereka baru saja tiba di ruangan tata usaha, saat Vino tak menemukan keberadaan bu Tina yang biasanya menjaga ruang itu.

“Bu Tina lagi istirahat sebentar, ada keperluan apa ya?” tanya salah satu guru yang Vino tau bernama Karno.

“Ah, bapak kepo nih...” itu Elang. Ia yang menjawab pertanyaan pak Karno.

“Ada yang mau saya tanyain pak,” jawab Vino. Ia malu, malu dengan kelakuan temannya.

Setelah menjawab pertanyaan pak Karno, Vino memutuskan untuk menunggu bu Tina di luar ruangan tata usaha. Ia tau, jika ia tetap berada di ruangan tata usaha, maka pak Karno akan lebih banyak bertanya lagi. Sedangkan Elang sepertinya tak ingin ada orang lain selain mereka yang tahu.

Lima menit sudah waktu berjalan, mereka masih setia menunggu. Namun, tampaknya kesabaran Elang sudah mencapai batasnya, ia terlalu khawatir. Ia ingin segera mengetahui keberadaan dan keadaan Reina.

Mereka masih menunggu saat tiba-tiba saja ponsel Vino berbunyi. Elang menatap Vino, tatapannya seolah bertanya siapa yang menelfon. Vino mengeluarkan benda kotak yang ada di dalam sakunya.

“Angkasa,” ucapnya.

“Ada, ini dia lagi bareng gue,” ucap Vino lagi, tapi kali ini pada lawan bicaranya ditelfon.

“Ooh, oke,”

Vino langsung memberikan ponselnya yang masih tersambung dengan Angkasa kepada Elang. Ia memberi kode kepada Elang untuk segera berbicara pada Angkasa.

“Kenapa?” bukannya menyapa, Elang justru langsung bertanya alasan Angkasa menelfon.

“Reina pingsan!”

Satu kalimat yang diucapkan oleh Angkasa itu, sukses membuat Elang merasa semakin khawatir. Bermacam pertanyaan berkeliaran di kepalanya, mulai dari kenapa bisa Reina bersama Angkasa dan apa penyabab gadis itu pingsan.

“Gue pinjam hp lo,” Ujar Elang. Ia langsung berlari meninggalkan Vino pergi tanpa menunggu jawaban lelaki itu.

💊

Dia meninggal, empat tahun yang lalu.

Suara itu terus terngiang di kepala Reina. Ia tak sempat berpikir ke arah sana, ia pikir sosok yang ada bersamanya itu hanya pergi meninggalkannya ke kota lain atau sekedar menghindar. Tetapi, semua tak seperti dugaannya. Reina menyesal mencari tahu hal yang ternyata akan menyakitinya.

Reina menangis. Ini kedua kalinya ia memperlihatkan kelemahannya di depan lelaki. Ia tak bisa lagi menahan segalanya. Jawabannya yang keluar dari bibir Angkasa membuat dadanya sesak.

“Gue mau ketemu dia Sa,” ucap Reina di tengah isakannya.

Angkasa masih setia duduk menemani gadis itu menangis. Sesekali menggosok punggung Reina untuk menenangkan. Ia ingin sekali memeluk Reina, menyalurkan kekuatan yang ia punya atau sekedar berbagi kesedihan. Namun, kesadaran menariknya, ia tak ingin hal itu justru membuatnya egois dan kembali ingin memiliki Reina.

Lihat selengkapnya