Aku hanya peran pengganti yang bagi sebagian orang tak ada arti.
Peran pengganti yang berharap suatu saat dapat merebut peran utama.
Apa sebenarnya yang Angkasa sembunyikan?
Elang tampak terburu membawa satu kotak besar barang. Ia sama sekali tak memperdulikan Vino yang memanggil namanya. Lelaki itu masih fokus berjalan menyusul Angkasa yang juga membawa barang sama sepertinya. Tujuan mereka sama, dan ini adalah kesempatan Elang untuk mencaritahu segalanya.
Ceklek
Suara pintu dikunci membuat Angkasa memutar badannya untuk melihat siapa yang baru saja datang. Ia yang tadinya tengah sibuk menyusun tumpukan buku di dalam kardus memberikan seluruh perhatiannya pada Elang. Angkasa kenal betul Elang, jika sudah bertindak seperti ini, tandanya ada hal penting yang lelaki itu ingin bicarakan.
“Sebenarnya ada hubungan apa lo sama Reina,”
Angkasa tergelak saat mendengar tudingan tak jelas dari Elang. Angkasa berdiri, kemudian berjalan mendekati Elang. Kini posisi mereka saling berhadapan. Elang meletakkan kotak bawaannya ke lantai, lalu bersandar pada dinding dan menyilangkan kedua tangannya di dada saat melihat Angkasa yang masih tertawa. Tawaan yang Elang lihat sebagai cara melarikan diri versi Angkasa.
Elang yakin, ada rahasia yang Angkasa sembunyikan.
“Gue mantannya Reina,” ujar Angkasa masih sambil tertawa.
Elang tak bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya saat mendapat jawaban yang tak pernah ia duga. Apa benar Angkasa adalah mantannya Reina? Ujar Elang dalam hati. Sisi lain dari Elang tak terima, tapi sisi yang lain percaya akan itu.
“Bukannya mantan Reina itu Awan?”
“Cih,” cibir Angkasa, kini ia tak lagi tertawa. Wajah dingin yang selalu ia tampilkan kembali terlihat. “Siapa yang bilang?”
“Reina,” jawab Elang singkat tak kalah datar. Mereka berdua seperti dua orang rival yang sedang memperebutkan seorang gadis. Meski sejatinya memang begitu.
“Lo yakin apa yang dia katakan benar? Bukannya dia kehilangan ingatannya?” Tanya Angkasa lagi. Lelaki yang biasanya irit bicara itu kini terlihat sangat rewel. Entah apa tujuannya seperti itu, padahal ia tahu, lelaki yang ada di depannya kini berstatus sebagai kekasih Reina dan juga sahabatnya sendiri.
Elang menggeleng singkat. Kemudian menatap mata Angkasa tajam. Selama ia bersahabat dengan Angkasa, mereka tak pernah berbicara satu sama lain sedingin ini. Mereka seperti sedang berada di kutub utara hari ini.
“Karena gue gak yakin, makanya gue di sini. Gue mau tau kebenarannya dari lo. Lo, orang yang paling dekat sama Awan,”
Angkasa melirik Elang sekilas, ia merasa lega karena kecurigaan Elang padanya sedikit mereda. Angkasa menganggukan kepalanya tanda setuju saat Elang memintanya untuk menjawab pertanyaan seputar Awan.
“Lo tau kalau Reina adalah mantannya Awan?” satu pertanyaan yang sebenarnya Elang sudah tau jawabannya itu terlontar. Lelaki itu tidak benar-benar bertanya, ia sedang menyelidiki.
“Lo tau sendiri jawabannya,” Angkasa menjeda ucapannya sesaat. “Jawabannya, Ya! Gue tau,”
“Oke,”
Elang mengacak-acak surai hitam miliknya. Bertingkah seolah-olah sedang berpikir keras, padahal segala skenario telah ia atur sebelum mendatangi Angkasa.
“Kalo gitu lo tau dong kapan mereka putus?” tanya Elang lagi. Jawaban ini adalah penentu segala pertanyaan yang terpatri dikepalanya.
Angkasa terdiam, pandangannya kosong, menerawang entah kemana. Lelaki itu sangat tau jawaban dari pertanyaan Elang barusan, ia tak mungkin lupa. Karena dia berada disana saat kejadian.
“Bulan september hari ke dua puluh tahun 2016,” jawab Angkasa. Wajahnya memerah, menahan emosi karena ingatannya kembali terlempar pada hari yang baru saja ia sebutkan. Hari terburuk yang sampai kapanpun tak akan ia lupakan.
“Sebenarnya lo siapa?”
Elang bersuara dingin. Sangat dingin. Jawaban dari Angkasa sukses membuatnya mengerang marah. Orang yang selama ini ia anggap sahabat, menyembunyikan rahasia besar darinya.
Elang merenggut kerah baju Angkasa, menariknya semakin mendekat. Satu pukulan mendarat cukup keras di wajah Angkasa. Lelaki itu masih bingung, bertanya-tanya alasan kenapa Elang tiba-tiba memukulnya. Sampai suara Elang yang mencicit lemah menyapa telinga, Angkasa tertegun. Ia tak bisa lagi berkutik.