Remedy

Rima Selvani
Chapter #13

Denial

Aku tak ingin. Namun, semakin aku menolak ia semakin melekat erat.

Benar. Ini fase pertama jatuh cinta

“Lo harus bilang semuanya ke Reina,”

Elang kehabisan stok kosakata. Hanya kata-kata itu yang terucap sebagai respon atas segala cerita masalalu antara Angkasa, Awan dan Reina yang baru ia dengar dari mulut Angkasa sendiri. Elang tak habis pikir, bisa-bisanya kedua saudara kembar itu mencintai satu orang yang sama. Bahkan kini ia pun juga ikutan terjebak dalam perasaan cinta pada gadis yang sama pula. Jika bisa memilih, Elang ingin ia tak mencintai gadis itu, karena Reina terlalu rumit. Segala kisahnya juga membutuhkan banyak teori untuk dipecahkan.

“Gue gak bisa bilang,” sahut Angkasa. Bukannya tak ingin memberitahukan kebenarannya. Hanya saja, rasa takut dan bersalah menyelimuti perasaan Angkasa, menjadikannya sosok yang paling ingin melupakan segala fakta yang ada.

Elang menatap tajam lalu sesudahnya mengatakan kalimat mutlak yang sama sekali tak boleh dibantah. “Lo yang bilang, atau gue yang kasih tau Reina tentang semuanya,” seru Elang enteng lalu berjalan melewati Angkasa. Saat keduanya berpapasan Elang sengaja menepuk dua kali pundak Angkasa, meyakinkan sahabatnya itu jika kalimat yang ia lontarkan tidak main-main.

Suara pintu terbuka kemudian ditutup kembali menjadi akhir percakapan mereka. Elang berlalu pergi, meninggalkan Angkasa sendiri dengan dua pilihan yang sama beratnya. Jika Angkasa yang mengatakannya sendiri, ia belum siap melihat reaksi yang akan Reina. Namun, jika segala kebenaran itu Reina dengar dari orang lain hal itu akan berdampak lebih buruk dan Angkasa tak ingin itu terjadi, karena di sudut hatinya nama Reina masih ada.

💊

Suara teriakan anak-anak jalanan tak cukup ampuh untuk membuat Reina fokus dengan apa yang ada di depannya. Pikiran gadis itu melanglang buana, menerka segal kemungkinan tentang masalalunya. Ia tak pernah menyangka kisah hidupnya akan serumit ini. Mulai dari ditinggal sang ayah, kematian Reno dan Angga. Semua fakta itu mau tak mau harus ia telan, sepahit apapun rasanya.

Semua sudah terjadi, dan menerima segala yang telah terjadi adalah hal yang harus pertama kali dilakukan. Tapi percuma sekeras apapun Reina berusaha ia tak akan bisa kembali lupa. Ingatannya sudah benar-benar kembali dan kenangan bersama Angga baik yang menyenangkan dan menyakitkan mulai mengisi penuh isi kepalanya. Reina tak bisa fokus dan hal itu terbukti saat tiba-tiba saja tangannya ditarik paksa oleh Elang keluar dari area dapur.

"Lo gila?" bentak Elang di depan Reina.

Kini ruang makan tempat mereka berdiri sekarang sudah dipenuhi anak-anak jalanan yang tercengang melihat keadaan dapur, asap mengepul di area itu dan kini mulai menyebar mengisi segala penjuru ruangan. Sementara itu Vino sedang berusaha mematikan api yang sudah membara di wajan, untungnya sebelum Elang menarik Reina menjauh, lelaki itu sudah terlebih dulu mematikan kompor dan mencabut saluran gas. Jika tidak, bisa dipastikan 10 menit ke depan rumah tempat mereka berada sekarang tak berbentuk lagi.

Teriakan Elang pada gadis itu tak cukup berefek padanya. Ia masih linglung, mencerna segala hal yang terjadi. Sampai saat kesadaran itu ia dapatkan penuh, air matanya mengucur deras. Rasa bersalah dan ketakutan memakannya hidup-hidup. Hampir saja Reina kehilangan orang yang berharga baginya. Lagi. Hampir saja ia membunuh banyak anak yang tak bersalah. Bahkan hampir saja ia kehilangan nyawanya.

"Maaf," gumam Reina akhirnya. Hanya satu kata itu yang kini bisa ia katakan. Mau membela diri juga tak bisa.

Elang diam, melihat sekitar yang terlalu ramai, kemudian melihat kondisi Reina. Gadis itu terlalu kacau, tak seperti dirinya yang pertama kali Elang temui.

💊

Lihat selengkapnya